A. Pengertian
Pancasila dan UUD 1945
Pancasila yaitu
lima dasar atau lima asas dalam buku “Sutasoma” Pancasila mempunyai arti
“berbatu segi lima” dalam bahasa sansekerta yang mempunyai arti
pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Karma) yaitu berarti:
- Tidak boleh melakukan kekerasan
- Tidak boleh mencuri
- Tidak boleh berjiwa dengki
- Tidak boleh berbohong
- Tidak boleh mabuk dan meminum minuman keras
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
terdiri dari :
1) Pembukaan
a. Dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945
terdapat sila-sila dari Pancasila.
b. Tata urutan dan rumusan Pancasia ditetapkan
dalam Inpres No. 12/1968 (juga Tap XX/MPRS/1966 dan Tap II/MPR/1978).
a. Terdiri dari 16 Bab, 37 pasal Aturan
Peralihan dan 2 Ayat Aturan Tambahan.
b. Berisi 2 bagian pokok :
- Sistem Pemerintahan negara yang terbagi menjadi 7 kunci pokok Sistem Pemerintahan Negara dan Kelembagaan Negara.
- Hubungan negara dengan warga negara dan penduduk RI memuat konsepsi negara di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
3) Penjelasan
a. Penjelasan umum :
- UUD sebagian dari hukum dasar.
- Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
- UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan (ke) dalam pasal-pasalnya.
- UUD bersifat singkat dan simpel.
- Sistem pemerintahan negara.
b. Penjelasan
pasal demi pasal
B. Sub Pokok
1) Kedudukan dan sifat UUD 1945.
a. kedudukan UUD 1945.
- UUD 1945 adalah : hukum dasar yang tertulis (di samping itu masih ada hukum dasar yang tidak tertulis : Konvensi).
- Sebagai (norma) hukum.
UUD 1945 bersifat mengikat terhadap : pemerintah, setiap lembaga negara atau masyarakat, setiap WNRI dan penduduk di RI.
Berisi norma-norma : aturan atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati.
- Sebagai hukum dasar.
UUD 1945 merupakan sumbar hukum (tertinggi) : setiap produk hukum (seperti UU, PP, Keppres, Kep. Menteri) dan setiap kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan UUD 1945.
Sebagai alat kontrol : yaitu mengecek apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
b. Sifat UUD 1945.
- Singkat
UUD 1945 hanya memuat sebanyak 37 Pasal (Konstitusi) RIS terdiri dari 197 pasal, UUD Sementara 1950 terdiri 146 pasal, sedangkan UUD India terdiri 39 pasal.
- Supel (elastis)
UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok : memuat garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
Aturan (lengkap) yang menyelenggarakan aturan pokok : diserahkan kepada UU yang lebih mudah cara membuat, merubah dan mencabutnya.
Dinamika kehidupan masyarakat dan negara : masyarakat dan negara Indonesia, masih tumbuh, jaman berubah, hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara, maka jangan tergesa-gesa memberi kristalisasi atau bentuk kepada pikiran yang masih mudah berubah.
Sistem UUD jangan sampai ketinggalan atau lekas usang (verouded).
2) Pokok pikiran UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 mempunyai
fungsi atau hubungan langsung dengan batang tubuh UUD 1945 dengan menyatakan
bahwa Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dan
dijelmakan dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.
Ada 4 pokok pikiran yang memiliki
sangat dalam yaitu sebagai berikut :
- Pokok pikiran utama : “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
- Pokok pikiran kedua : “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
- Pokok pikiran ketiga : “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan / perwakilan oleh karena itu, sistem yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan / perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia”.
- Pokok pikiran keempat : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Keempat pokok pikiran di atas
terdiri dari empat alinea mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah
sila-sila pancasila itu sendiri.
3) Prinsip yang terkandung dalam
batang tubuh UUD 1945.
Batang tubuh UUD 1945 terdiri dari sifat-sifat UUD 1945, di samping mengandung semangat merupakan perwuudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 juga merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Pada umumnya, batang tubuh UUD memuat pasal-pasal tentang :
Batang tubuh UUD 1945 terdiri dari sifat-sifat UUD 1945, di samping mengandung semangat merupakan perwuudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 juga merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Pada umumnya, batang tubuh UUD memuat pasal-pasal tentang :
a. Pengaturan pemerintahan yang
didalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan tata
hubungan dari lembaga-lembaga negara dan pemerintah.
b. Pasal-pasal yang berisi metri tentang tat hubungan antara negara dan warga negara dan penduduknya secara timbal balik serta dipertegas oleh Pembukaan UUD 1945 yang berisi konsepsi negara dalam berbagai aspek kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM, ke arah mana negara, bangsa, dan rakyat Indonesia akan bergerak mencapai cita-cita nasionalnya.
Batang tubuh UUD 1945 memuat pula
hal-hal lain seperti bendera, bahasa dan perubahan UUD. Di dalam penjelasan itu
tercantum 7 butir kunci pokok yang merupakan sistem pemerintahan negara menurut
UUD 1945 yaitu:
- Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum.
- Sistem pemerintahan dalam bentuk konstitusional.
- Kekuasaan negara yang tertinggi ada di tangan MPR.
- Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
- Menteri negara adalah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada anggota DPR.
- Kekuasaan kepala negara “tidak tak terbatas”.
4) Hubungan pancasila dengan UUD 1945
Di dalam perumusan UUD dilihat dari sejarah dan perjuangan bangsa bahwa bangsa Indonesia terdiri dari negara kepulauan yang dilihat dari Geopolitik dan Geostrategi dan Uud 1945 disusun berdasarkan aspirasi bangsa yang mengacu pada Pacasila.
Di dalam perumusan UUD dilihat dari sejarah dan perjuangan bangsa bahwa bangsa Indonesia terdiri dari negara kepulauan yang dilihat dari Geopolitik dan Geostrategi dan Uud 1945 disusun berdasarkan aspirasi bangsa yang mengacu pada Pacasila.
5) Pandangan sistem ketatanegaraan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ketatanegaraan Pemerintahan RI secara Yuridis berpangkal pada UUD 1945, sebagai sumber utama kekuasaan wewenang di negara ini.
Orientasi mengenai segi-segi ketatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui pendekatan melalui faktor-faktor tertentu yang mengurusi ketatalaksanaan itu antara lain :
Ketatanegaraan Pemerintahan RI secara Yuridis berpangkal pada UUD 1945, sebagai sumber utama kekuasaan wewenang di negara ini.
Orientasi mengenai segi-segi ketatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui pendekatan melalui faktor-faktor tertentu yang mengurusi ketatalaksanaan itu antara lain :
- Foktor Azas
- Faktor Yuridis
- Faktor Politik
- Faktor Pelaksana
- Faktor Tanggung Jawab
Kedudukan dan hubungan tata kerja
lembaga tertinggi negara dengan atau lembaga tinggi negara, yaitu :
a. Lembaga tertinggi/tinggi negara
- Lembaga tertinggi negara ialah MPR.
- Lembaga-lembaga tinggi negara : Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA.
b. Pemberhentian presiden
MPR dapat memberhentikan Presiden
sebelum habis masa jabatannya karena:
- Atas perintah sendiri
- Berhalangan tetap
- Sungguh-sungguh melanggar haluan negara
c. Pertanggungjawaban presiden
- Presiden ditunjuk dan bertanggung jawab kepada MPR dan pada masa akhir jabatannya memberikan pertanggungjawabannya atas pelaksanaan haluan.
- Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan siding Istimewa MPR yang khusu diadakan untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
d. Dalam hal mewakili presiden
berhalangan tetap
Apabila Wakil presiden
berhalangan tetap, presiden dan/atau DPR dapat meminta MPR mengadakan SI – MPR untuk
memilih Wakil presiden.
e. Pengawasan DPR terhadap presiden
- DPR yang seluruh anggotanya adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan presiden dalam rangka pelaksanaa haluan negara.
- Apabila DPR menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara, DPR menyampaikan Momerandum untuk mengingatkan presiden.
- Apabila dalam waktu 3 bulan presiden tidak memperhatikan Momerandum tersebut, maka DPR menyampaikan Momerandum yang kedua.
- Apabila dalam 1 bulan Momerandum kedua tersebut tidak diindahkan presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan SI – MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
f. Mahkamah Agung (MA)
- MA adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya.
- Ma dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta atau tidak kepada lembaga-lemaga tinggi negara.
- MA memberikan nasehat hukum kepada presiden/kepala negara untuk pemberian / penolakan Grasi.
- MA mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan di bawah UU.
Pancasila
di Era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi[1]
Setiap
tanggal 1 Oktober kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Di Lubang Buaya di
kantor-kantor pemerintah di pusat maupun di daerah berbagai upacara
diselenggarakan. Kepala Negara, petinggi negeri, keluarga pahlawan revolusi,
aparat, dan murid-murid sekolah mengikuti upacara itu dengan khidmat. Sekalipun
tanpa pidato, tetapi teks dan ikrar Pancasila dibacakan. Harapannyaadalah agar Pancasila
terus bergema, jangan sampai dirongrong, diselewengkan, dan diabaikan, tetapi
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata rakyat negeri. Pancasila adalah kekayaan
bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya. Pancasila merupakan rangkuman
dari nilai-nilai luhur yang digali Bung Karno dari akar budaya bangsa yang
mencakup seluruh kebutuhan dan hak-hak dasar manusia secara universal, sehingga
dapat dijadikan landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk baik
dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan kepentingan. Karena itu,
bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai
tersebut sebagai dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Namun sayangnya
dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila
selalu mengalami berbagai macam hambatan, khususnya karena adanya proses dan
dinamika politik yang memanipulasi Pancasila demi kekuasaan dengan mengingkari
nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Pancasila
Masa Orde Lama.
Pamor Pancasila
sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan
sebuah azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa
warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api Pancasila sebagai
tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang, diawali oleh kehindak
seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan
kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan
yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan
sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta
ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan
penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation,
exploitation de I’homme par I’homme). Namun sayangnya kehendak luhur tersebut
yang dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila.
Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi
pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila seakan-akan lumat oleh
sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif tanpa mengindahkan
cita-cita luhur yang dijdikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri.
Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum
selesai, termasuk cara-cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru,
dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin
revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan
melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi,
norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi.
Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata
revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan. Hal itu sesuai dengan
ungkapan yang seringkali diucapkan Pimpinan Besar Revolusi bahwa pengorbanan
adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi,
karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi bahkan
harus tega memakan anaknya sendiri. Dalam gegap gempitanya atmosfir
revolusioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD’45 sebagai konstitusi
negara, akhirnya tidak berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi.
Kosekwensinya, mereka hanya dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika
yang selalu dikumandangkan bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun,
dilakukan secara pincang. Pada kenyatannya selama kurun waktu itu, kekuasaan
yang sentralistik lebih banyak menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan.
Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi kata-kata bagus
yang secara retorik digunakan oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan
rakyat supaya lupa penderitaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan.
Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus
dipersatukan, sehingga presiden mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk
menghancurkan apa yang disebut sebagai “musuh-musuh revolusi”. Demi sebuah
kekuasaan yang dahsyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik legislatif,
yudikatif dan kekuatan masyarakat harus dihimpun dalam satu tangan. Rakyat
harus berada di belakang pemimpin tanpa reserve untuk menunggu komando yang
diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan
mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan
memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan
nasionalis, komunis serta agama yang
pada tahap berikutnya ketiga sila itupun kemudian disimplifikasikan menjadi
satu sila yang disebut Gotong Royong. Hiruk pikuk revolusi akhirnya usai,
karena ternyata kepemimpinan revolusioner telah mengakibatkan kejatuhan
pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30 S/PKI.
Kekuasaan yang hakikatnya cenderung korup, telah menyelewengkan nilai-nilai
luhur Pancasila. Akibatnya, tragedi politik tahun 1965 yang pada dasarnya
adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi telah menelan
korban ratusan ribu jiwa, serta trauma dan stigma politik terhadap jutaan
rakyat yang tidak tahu menahu mengenai apa yang disebut dengan memperjuangkan
sebuah revolusi. Catatan singkat di atas adalah fakta sejarah yang
mudah-mudahan dapat menyegarkan ingatan kita semua, bahwa kesaktian serta
kekeramatan Pancsila sebagai ideologi dan falsafah bangsa sangat rentan
terhadap penyelewengan oleh aktor politik pemegang kekuasaan negara. Runtuhnya
sistem kekuasaan pemerintahan Orde Lama adalah akibat dari perilaku para
pemimpin politik yang menjungkir-balikkan nilai-nilai Pancasila demi ambisi
politik yang mengatas namakan Pancasila.
Pancasila
Masa Orde Baru.
Babak baru
dalam sejarah perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya pemerintahan Orde
Lama. Sebuah kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD ’45
secara murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdadarkan pengalaman
sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyelewengkan Pancasila serta
menyalahgunakan UUD’45 untuk kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun
suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Orde Baru. Nama itu dipilih untuk
menunjukkan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang
bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila
dan UUD’45 secara murni dan konsekwen.
Salah satu agenda besar adalah menghilangkan
kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang menjadi warisan masa lalu
dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada kekaryaan. ‘Ideologi’
kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih jelas dengan
pemerintahan sebelumnya yang dianggap bermain pada tataran ideologis, tanpa
sesuatu karya yang nyata bagi rakyat banyak. Untuk itu diperlukan stabilitas
politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara kongkrit
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya dalam tataran politik
misalnya adalah menciptakan sistem politik yang menegarakan semua organisasi
sosial dan politik dengan tujuan agar tercapai stabilitas politik. Politik yang
stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian yang kacau akibat
ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintaha Orde
Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD’45 dan mencoba membuat
garis pemisah yang jelas antara apa yang disebut supra-struktur politik (kehidupan
politik pada tataran negara) dan infra-struktur politik (kehidupan politik pada
tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-struktur politik, lembga-lembaga
negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi
lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Orde Lama.
Sementara itu, dalam perspektif politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan
restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan
organisasi kekaryaan dengan nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan
gabungan dari berbagai macam organisasi masyarakat. Organisasi kekaryaan
tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh kemenangan lebih dari 60% dari
popular vote. Kemenangan tersebut di samping karena Golkar dijagokan oleh
pemerintah, masyarakatpun sudah jenuh dengan permainan politik para elit yang
dirasakan tidak pernah mengerti kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pada
tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan seremoni dan pesta politik elit
dari pada kompetisi politik. Pemilu yang berlangsung secara rutin dan diatur
serta diselenggarakan oleh negara memihak kepentingan penguasa, sehingga
sebagaimana diketahui partai yang berkuasa selalu memperoleh kemenangan sekitar
60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap pemilihan umum. Sejalan dengan
semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD’45 tidak banyak
berbeda bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua pemerintahan
selalu menempatkan Pancasila dan UUD’45 sebagai benda keramat dan azimat yang
sakti serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila
sebagai ideologi terbuka, serta UUD’45 sebagai landasan konstitusi berada di
tangan negara. Penafsiran yang berbeda teradap kedua hal tersebut selalu
diredam secara represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan
demikian, jelaslah behwa OrdeBaru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau
subversif. Dala pada itu, peanaman nilai-nilai pancaxila dilakukan secara
indoktrinatif dan birokratis.
Akibatnya,
bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para
pemimpin mengenai nilainilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta
tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan
merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,
bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna apapun.
Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD’45 yang dilakukan melalui metode indoktrinasi
dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pedapat, semakin
mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Cara
melakukan pendidikan semaca m itu, terutama bagi generasi muda, berakibat
fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam
pendidikan yng disebut penataran P4 atau penataran PMP (Pendidikan Moral
Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani
generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu
terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladnan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu
mengucapkn kata-kata keramat: Pancasila dan UUD’45, tetapi dalam kenyataannya
masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan
perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin
serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat
menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan
atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Retorika persatuan kesatua menyebabkan
bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil
konkrit dari kebijakan politik pembngunan yang unilateral. Seluruh tatanan
diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa adanya. Gagasan
mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secar intensif.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa persatuan dnan kesatuan bangsa yang
dibetuk secara unilateral tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang
hanya dilakukan secara sepihak dan doktriner serta tanpa kekteladanan selain
tidak akan memperkuat bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral
generasi muda. Sebab, pendidikan semacam itu hanya menyuurkan kemunafikan.
Pengalaman pahit yang pernah diakukan pada masa Orde Lama dalam memanfaatkan
Pancasila yang hanya retorika politik dan sebagai instrumen menggalang
kekuasaan ternyata diteruskan pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa
Orde Lama Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk
bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran, yaitu nasionalisme,
komunisme, dan agama; sedangkan pada masa Orde Baru Pancasila disalahgunakan
sebagai ‘idoelogi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan
berpendapat masyarakat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada
masa Orde Lama ancaman banga dan negara adalah neo-kolonialisme, pada zaman
Orde Baru ancaman terhadap bangsa dan negara adalah komunisme. Namun pada
dasarnya, dalam perspektif politik keduanya sama dan sebangun yaitu bagaimana
menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan
dapat dipusatkan pada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lma kekuasaan
memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, pada zaman Orde Baru di dangan Bapak
Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan
seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap
benar dan apa yang dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar
kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap
salah kalau bertentangan dengan kehendaknya.
Pancasila
Masa Reformasi
Karena Orde
Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah pemerintahan sebelumnya,
akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir 1990-an runtuh oleh
kekeuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk
membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila
sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara itu UUD’45 sebagai penjabaran Pancasila dan
sekaligus merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk mengatur
kehidupan bernegara mengalami perubahan agar sesuai dengan tuntutan dan perubahan
zaman. Karena itu pula orde yang oleh sementara kalangan disebut Orde Reformasi
melakukan aneka perubahan mendasar guna membangun tata pemerintahan baru. Namunupaya
untuk menyalakan pamor Pancasila –setelah ideologi tersebut di mata rakyat
tidak lebih dari rangkaian kata-kata bagus tana makna karena implementasinya
diselewengkan oleh pemimpin selama lebih kurang setengah abad- tidak mudah
dilakukan. Bahkan, ada kesan bahwa sejalan dengan runtuhnya pemerintahan Orde
Baru yang selalu gembar-gembor mengumandangkan Pancasila, masyarakat terutama
elit politiknya terkesan sungkan meskipun hanya sekedar menyebut Pancasila. Hal
itu juga menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tidak
hanya pamornya telah meredup, melainkan sudah mengalami degradasi kredibilitas
yang luar biasa sehingga bangsa Indonesia memasuki babak baru pasca jatuhnya
pemerintahan otoritarian laiknya sebuah bangsa yang tanpa roh, cita-cita maupun
orentasi ideologis yang dapat mengarahkan perubahan yang terjadi. Mungkin karena
hidup bangsa yang kosong dari falsafah itulah yang menyebabkan kerkembangnya ‘ideologi’
pragmatisme yang kering dengan empati, menipisnya rasa solidaritas terhadap
sesama, elit politik yang mabuk kuasa, “aji mumpung”, dan lain-lain sikap yang
manifestasinya adalah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepetingan yang
dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.
Membangkitkan
Pancasila
Tiadanya ideologi yang dapat memberikan arah perubahan
politik yang sangat besar dewasa ini dikuatirkan akan memunculkan kembali
gerakan-gerakan radikal baik yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat dalam
menghadapi ketidakpastian hidup maupun akibat dari manipulasi sentimen-sentimen
primordial. Gerakan-gerakan radikal semacam itu tentu sangat berbahaya karena
dapat memutar kembal i arah reformasi politik kepada situasi yang mendorong
munculnya kembali kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial yang
tidak berkesudahan. Tidak mustahil kalau Pancasila tidak segera kembali menjadi
roh bangsa Indonesia., dikhawatirkan akan muncul ideologi alternatif yang
akandijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan-gerakan radikal. Karena
itu, bagi bangsa Indonesia tidak ada pilihan lain selain mengembangkan
nilai-nilai Pancasila agar keragaman bangsa dapat dijabarkan sesuai dengan
prinsip Bhineka Tunggal Ika. Dalam hubungan itu, perlu pula dikemukakan bahwa
persatuan dan kesatuan bangsa bukan lagi uniformitas melainkan suatu bentuk
dari suatu yang eka dalam kebhinekaan. Pluralitas juga harus dapat diwujudkan
dalam suatu struktur kekuasaaan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengelola kekuasaan agar dapat diperoleh elit politik yang lebih lejitimet,
akuntabel serta peka terhadap aspirasi masyarakat. Sejarah telah memberikan
pelajaran yang sangat berharga bahwa konsep persatuan dan kesatuan yang
memusatkan kewenangan kepada pemerintah pusat dalam implementasinya ternyata
lebih merupakan upaya penyeragaman (uniformitas) dan membuahkan
kesewenang-wenangan serta ketidakadilan. Nasionalisme yang merupakan identitas
nasional yang dilakukan oleh negara melalui indoktrinasi dan memanipulasi
simbol-simbol dan seremoni yang mencerminkan supremasi negara tidak dapat
dilakukan lagi. Negara bukan lagi sebagai satu-satunya aktor dalam menentukan
identitas nasional. Hal ini juga seirama dengan semakin kompleksnya tantangan
global, masyarakat merasa berhak menentukan bentuk dan isi gagasan apa yang
disebut negara kesatuan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sementara
itu, perubahan paling mendasar terhadap UUD’45 adalah bagaimana prinsip
kedaulatan rakyat yang pengaturannya sangat kompleks dalam sistem kehidupan
demokrasi dapat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu harus dilakukan
secara rinci dan disertai dengan rumusan yang jelas agar tidak terjadi multi
interpretasi sebagaimana terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut telah dilakukan
dengan ‘mengamandemen’ UUD’45 antara lain yang berkenaan dengan pembatasan
jabatan Presiden/Wakil Presiden sebanyak dua periode, pemiliha Presiden dan
Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung, pembentukan parlemen “dua
kamar” (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah), pembentukan
Mahkamah Konstitusi, pembentukan Komisi Yudisial, mekanisme pemberhentian
seorang Presiden dan/Wwakil Presiden dan lain sebagainya. Namun sayangnya
perubahan tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan berdasarkan
prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga meskipun telah dilakukan perubahan
empat kali, ternyata UUD Tahun 1945 masih mengundang beberapa kekurangan. Pengalaman
selama lebih kurang setengah abad praktek-praktek kenegaraan yang menyeleweng
dari Pancasila telah mengakibatkan berbagai tragedi bangsa harus dijadikan
pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Akibat lain adalah
ketertinggalan bangsa dibandingkan dengan negara-negara lain karena bangsa
Indonesia selalu disibukkan dengan masalah-masalah internal bangsa seperti kesewenang-wenangan
penguasa, pelaggaran HAM, disintegrasi bangsa serta hal-hal yang tidak produktiflainnya
sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia kalah bersaing dengan bangsa-bangsa
lain. Untuk bangkit dari keterpurukan tidak ada pilihan lain bagi bangsa
Indonesia, pertam-tama dan terutama harus kembali kepada Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi bangsa. Caranya adalah para pemimpin bangsa dan negara
tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato, tetapi
mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan
sehari-hari. Dengan demilian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam
bentuk seremonial, melainkan benar-benar bisa dirasakan langsung oleh
masyarakat.
Drs. Jimmy Hasoloan M.M. 2010. Pancasila, Cirebon: Penerbit Swagati Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar