Selasa, 10 Desember 2013

PANCASILA DAN UUD 1945


A. Pengertian Pancasila dan UUD 1945
Pancasila yaitu lima dasar atau lima asas dalam buku “Sutasoma” Pancasila mempunyai arti “berbatu segi lima” dalam bahasa sansekerta yang mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Karma) yaitu berarti:
  • Tidak boleh melakukan kekerasan
  • Tidak boleh mencuri
  • Tidak boleh berjiwa dengki
  • Tidak boleh berbohong
  • Tidak boleh mabuk dan meminum minuman keras
Undang-Undang Dasar 1945 yaitu terdiri dari :
1) Pembukaan
a. Dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 terdapat sila-sila dari Pancasila.
b. Tata urutan dan rumusan Pancasia ditetapkan dalam Inpres No. 12/1968 (juga Tap XX/MPRS/1966 dan Tap II/MPR/1978).

2) Batang tubuh
a. Terdiri dari 16 Bab, 37 pasal Aturan Peralihan dan 2 Ayat Aturan Tambahan.
b. Berisi 2 bagian pokok :
  • Sistem Pemerintahan negara yang terbagi menjadi 7 kunci pokok Sistem Pemerintahan Negara dan Kelembagaan Negara.
  • Hubungan negara dengan warga negara dan penduduk RI memuat konsepsi negara di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
3) Penjelasan
a. Penjelasan umum :
  • UUD sebagian dari hukum dasar.
  • Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
  • UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan (ke) dalam pasal-pasalnya.
  • UUD bersifat singkat dan simpel.
  • Sistem pemerintahan negara.
b. Penjelasan pasal demi pasal 
B. Sub Pokok
1) Kedudukan dan sifat UUD 1945.
a. kedudukan UUD 1945.
  • UUD 1945 adalah : hukum dasar yang tertulis (di samping itu masih ada hukum dasar yang tidak tertulis : Konvensi).
  • Sebagai (norma) hukum.
UUD 1945 bersifat mengikat terhadap : pemerintah, setiap lembaga negara atau masyarakat, setiap WNRI dan penduduk di RI.
Berisi norma-norma : aturan atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati.
  • Sebagai hukum dasar.
UUD 1945 merupakan sumbar hukum (tertinggi) : setiap produk hukum (seperti UU, PP, Keppres, Kep. Menteri) dan setiap kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan UUD 1945.
Sebagai alat kontrol : yaitu mengecek apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
b. Sifat UUD 1945.
  • Singkat
UUD 1945 hanya memuat sebanyak 37 Pasal (Konstitusi) RIS terdiri dari 197 pasal, UUD Sementara 1950 terdiri 146 pasal, sedangkan UUD India terdiri 39 pasal.
  • Supel (elastis)
UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok : memuat garis besar sebagai intruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
Aturan (lengkap) yang menyelenggarakan aturan pokok : diserahkan kepada  UU yang lebih mudah cara membuat, merubah dan mencabutnya.
Dinamika kehidupan masyarakat dan negara : masyarakat dan negara Indonesia, masih tumbuh, jaman berubah, hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan negara, maka jangan tergesa-gesa memberi kristalisasi atau bentuk kepada pikiran yang masih mudah berubah.
Sistem UUD jangan sampai ketinggalan atau lekas usang (verouded).

2) Pokok pikiran UUD 1945

Pembukaan UUD 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan batang tubuh UUD 1945 dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dan dijelmakan dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.

Ada 4 pokok pikiran yang memiliki sangat dalam yaitu sebagai berikut :
  1. Pokok pikiran utama : “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
  2. Pokok pikiran kedua : “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
  3. Pokok pikiran ketiga : “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan / perwakilan oleh karena itu, sistem yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan / perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia”.
  4. Pokok pikiran keempat : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Keempat pokok pikiran di atas terdiri dari empat alinea mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah sila-sila pancasila itu sendiri.

3) Prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945.

Batang tubuh UUD 1945 terdiri dari sifat-sifat UUD 1945, di samping mengandung semangat merupakan perwuudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 juga merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Pada umumnya, batang tubuh UUD memuat pasal-pasal tentang :
a. Pengaturan pemerintahan yang didalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan tata hubungan dari lembaga-lembaga negara dan pemerintah.

b. Pasal-pasal yang berisi metri tentang tat hubungan antara negara dan warga negara dan penduduknya secara timbal balik serta dipertegas oleh Pembukaan  UUD 1945 yang berisi konsepsi negara dalam berbagai aspek kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM, ke arah mana negara, bangsa, dan rakyat Indonesia akan bergerak mencapai cita-cita nasionalnya.

Batang tubuh UUD 1945 memuat pula hal-hal lain seperti bendera, bahasa dan perubahan UUD. Di dalam penjelasan itu tercantum 7 butir kunci pokok yang merupakan sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 yaitu:

  • Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum.
  • Sistem pemerintahan dalam bentuk konstitusional.
  • Kekuasaan negara yang tertinggi  ada di tangan MPR.
  • Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis.
  • Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
  • Menteri negara adalah pembantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada anggota DPR.
  • Kekuasaan kepala negara “tidak tak terbatas”.
4) Hubungan pancasila dengan UUD 1945
Di dalam perumusan UUD dilihat dari sejarah dan perjuangan bangsa bahwa bangsa Indonesia terdiri dari negara kepulauan yang dilihat dari Geopolitik dan Geostrategi dan Uud 1945 disusun berdasarkan aspirasi bangsa yang mengacu pada Pacasila.

5) Pandangan sistem ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ketatanegaraan Pemerintahan RI secara Yuridis berpangkal pada UUD 1945, sebagai sumber utama kekuasaan wewenang di negara ini.

Orientasi mengenai segi-segi ketatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui pendekatan melalui faktor-faktor tertentu yang mengurusi ketatalaksanaan itu antara lain :

  1. Foktor Azas
  2. Faktor Yuridis
  3. Faktor Politik
  4. Faktor Pelaksana
  5. Faktor Tanggung Jawab

Kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi negara dengan atau lembaga tinggi negara, yaitu :

a. Lembaga tertinggi/tinggi negara

  • Lembaga tertinggi negara ialah MPR.
  • Lembaga-lembaga tinggi negara : Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA.

b. Pemberhentian presiden

MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya karena:

  • Atas perintah sendiri
  • Berhalangan tetap
  • Sungguh-sungguh melanggar haluan negara

c. Pertanggungjawaban presiden

  • Presiden ditunjuk dan bertanggung jawab kepada MPR dan pada masa akhir jabatannya memberikan pertanggungjawabannya atas pelaksanaan haluan.
  • Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan siding Istimewa MPR yang khusu diadakan untuk meminta pertanggungjawaban presiden.

d. Dalam hal mewakili presiden berhalangan tetap
Apabila Wakil presiden berhalangan tetap, presiden dan/atau DPR dapat meminta MPR mengadakan SI – MPR untuk memilih Wakil presiden.

e. Pengawasan DPR terhadap presiden

  • DPR yang seluruh anggotanya adalah anggota MPR berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan presiden dalam rangka pelaksanaa haluan negara.
  • Apabila DPR menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara, DPR menyampaikan Momerandum untuk mengingatkan presiden.
  • Apabila dalam waktu 3 bulan presiden tidak memperhatikan Momerandum tersebut, maka DPR menyampaikan Momerandum yang kedua.
  • Apabila dalam 1 bulan Momerandum kedua tersebut tidak diindahkan presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan SI – MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden.

f. Mahkamah Agung (MA)

  • MA adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya.
  • Ma dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta atau tidak kepada lembaga-lemaga tinggi negara.
  • MA memberikan nasehat hukum kepada presiden/kepala negara untuk pemberian / penolakan Grasi.
  • MA mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan di bawah UU.

Pancasila di Era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi[1]

Setiap tanggal 1 Oktober kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Di Lubang Buaya di kantor-kantor pemerintah di pusat maupun di daerah berbagai upacara diselenggarakan. Kepala Negara, petinggi negeri, keluarga pahlawan revolusi, aparat, dan murid-murid sekolah mengikuti upacara itu dengan khidmat. Sekalipun tanpa pidato, tetapi teks dan ikrar Pancasila dibacakan. Harapannyaadalah agar Pancasila terus bergema, jangan sampai dirongrong, diselewengkan, dan diabaikan, tetapi diaktualisasikan dalam kehidupan nyata rakyat negeri. Pancasila adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya. Pancasila merupakan rangkuman dari nilai-nilai luhur yang digali Bung Karno dari akar budaya bangsa yang mencakup seluruh kebutuhan dan hak-hak dasar manusia secara universal, sehingga dapat dijadikan landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan kepentingan. Karena itu, bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai tersebut  sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Namun sayangnya dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila selalu mengalami berbagai macam hambatan, khususnya karena adanya proses dan dinamika politik yang memanipulasi Pancasila demi kekuasaan dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Pancasila Masa Orde Lama.

Pamor Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan sebuah azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api Pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang, diawali oleh kehindak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation, exploitation de I’homme par I’homme). Namun sayangnya kehendak luhur tersebut yang dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila. Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila seakan-akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijdikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri. Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara-cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi. Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan. Hal itu sesuai dengan ungkapan yang seringkali diucapkan Pimpinan Besar Revolusi bahwa pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri. Dalam gegap gempitanya atmosfir revolusioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD’45 sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi. Kosekwensinya, mereka hanya dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika yang selalu dikumandangkan bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun, dilakukan secara pincang. Pada kenyatannya selama kurun waktu itu, kekuasaan yang sentralistik lebih banyak menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan. Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi kata-kata bagus yang secara retorik digunakan oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan rakyat supaya lupa penderitaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan. Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus dipersatukan, sehingga presiden mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menghancurkan apa yang disebut sebagai “musuh-musuh revolusi”. Demi sebuah kekuasaan yang dahsyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik legislatif, yudikatif dan kekuatan masyarakat harus dihimpun dalam satu tangan. Rakyat harus berada di belakang pemimpin tanpa reserve untuk menunggu komando yang diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan nasionalis, komunis serta  agama yang pada tahap berikutnya ketiga sila itupun kemudian disimplifikasikan menjadi satu sila yang disebut Gotong Royong. Hiruk pikuk revolusi akhirnya usai, karena ternyata kepemimpinan revolusioner telah mengakibatkan kejatuhan pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30 S/PKI. Kekuasaan yang hakikatnya cenderung korup, telah menyelewengkan nilai-nilai luhur Pancasila. Akibatnya, tragedi politik tahun 1965 yang pada dasarnya adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi telah menelan korban ratusan ribu jiwa, serta trauma dan stigma politik terhadap jutaan rakyat yang tidak tahu menahu mengenai apa yang disebut dengan memperjuangkan sebuah revolusi. Catatan singkat di atas adalah fakta sejarah yang mudah-mudahan dapat menyegarkan ingatan kita semua, bahwa kesaktian serta kekeramatan Pancsila sebagai ideologi dan falsafah bangsa sangat rentan terhadap penyelewengan oleh aktor politik pemegang kekuasaan negara. Runtuhnya sistem kekuasaan pemerintahan Orde Lama adalah akibat dari perilaku para pemimpin politik yang menjungkir-balikkan nilai-nilai Pancasila demi ambisi politik yang mengatas namakan Pancasila.

Pancasila Masa Orde Baru.

Babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya pemerintahan Orde Lama. Sebuah kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul berdadarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyelewengkan Pancasila serta menyalahgunakan UUD’45 untuk kepentingan kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Orde Baru. Nama itu dipilih untuk menunjukkan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan konsekwen.

Salah satu agenda besar adalah menghilangkan kotak-kotak ideologi politik dalam masyarakat yang menjadi warisan masa lalu dan membangun sistem kekuasaan yang berorientasi kepada kekaryaan. ‘Ideologi’ kekaryaan ini dikumandangkan untuk membedakan secara lebih jelas dengan pemerintahan sebelumnya yang dianggap bermain pada tataran ideologis, tanpa sesuatu karya yang nyata bagi rakyat banyak. Untuk itu diperlukan stabilitas politik sebagai cara melaksanakan karya-karya yang dianggap secara kongkrit dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya dalam tataran politik misalnya adalah menciptakan sistem politik yang menegarakan semua organisasi sosial dan politik dengan tujuan agar tercapai stabilitas politik. Politik yang stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian yang kacau akibat ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintaha Orde Baru dengan menata struktur politik berdasarkan UUD’45 dan mencoba membuat garis pemisah yang jelas antara apa yang disebut supra-struktur politik (kehidupan politik pada tataran negara) dan infra-struktur politik (kehidupan politik pada tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-struktur politik, lembga-lembaga negara secara formal-struktural ditata sehingga hubungan dan kewenangan menjadi lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada masa Orde Lama. Sementara itu, dalam perspektif politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi kekaryaan dengan nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh kemenangan lebih dari 60% dari popular vote. Kemenangan tersebut di samping karena Golkar dijagokan oleh pemerintah, masyarakatpun sudah jenuh dengan permainan politik para elit yang dirasakan tidak pernah mengerti kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun berikutnya, pemilu lebih merupakan seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik. Pemilu yang berlangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara memihak kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui partai yang berkuasa selalu memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap pemilihan umum. Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD’45 tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua pemerintahan selalu menempatkan Pancasila dan UUD’45 sebagai benda keramat dan azimat yang sakti serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD’45 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Penafsiran yang berbeda teradap kedua hal tersebut selalu diredam secara represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan demikian, jelaslah behwa OrdeBaru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Dala pada itu, peanaman nilai-nilai pancaxila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis.

Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilainilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD’45 yang dilakukan melalui metode indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pedapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan pendidikan semaca m itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yng disebut penataran P4 atau penataran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladnan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu mengucapkn kata-kata keramat: Pancasila dan UUD’45, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Retorika persatuan kesatua menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembngunan yang unilateral. Seluruh tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa adanya. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secar intensif. Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa persatuan dnan kesatuan bangsa yang dibetuk secara unilateral tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya dilakukan secara sepihak dan doktriner serta tanpa kekteladanan selain tidak akan memperkuat bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral generasi muda. Sebab, pendidikan semacam itu hanya menyuurkan kemunafikan. Pengalaman pahit yang pernah diakukan pada masa Orde Lama dalam memanfaatkan Pancasila yang hanya retorika politik dan sebagai instrumen menggalang kekuasaan ternyata diteruskan pada masa Orde Baru. Hanya bedanya, pada masa Orde Lama Pancasila dimanipulasi menjadi kekuatan politik dalam bentuk bersatunya tiga kekuatan yang bersumber dari tiga aliran, yaitu nasionalisme, komunisme, dan agama; sedangkan pada masa Orde Baru Pancasila disalahgunakan sebagai ‘idoelogi’ penguasa untuk memasung pluralisme dan mengekang kebebasan berpendapat masyarakat dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada masa Orde Lama ancaman banga dan negara adalah neo-kolonialisme, pada zaman Orde Baru ancaman terhadap bangsa dan negara adalah komunisme. Namun pada dasarnya, dalam perspektif politik keduanya sama dan sebangun yaitu bagaimana menjadikan ideologi Pancasila hanya sebagai instrumen penguasa agar kekuasaan dapat dipusatkan pada seorang pemimpin. Hasilnya, pada masa Orde Lma kekuasaan memusat di tangan Pemimpin Besar Revolusi, pada zaman Orde Baru di dangan Bapak Pembangunan. Kekuasaan yang semakin akumulatif dan monopolistik di tangan seorang pemimpin menjadikan mereka juga berkuasa menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal itu sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendaknya.

Pancasila Masa Reformasi

Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir 1990-an runtuh oleh kekeuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu UUD’45 sebagai penjabaran Pancasila dan sekaligus merupakan kontrak sosial di antara sesama warga negara untuk mengatur kehidupan bernegara mengalami perubahan agar sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Karena itu pula orde yang oleh sementara kalangan disebut Orde Reformasi melakukan aneka perubahan mendasar guna membangun tata pemerintahan baru. Namunupaya untuk menyalakan pamor Pancasila –setelah ideologi tersebut di mata rakyat tidak lebih dari rangkaian kata-kata bagus tana makna karena implementasinya diselewengkan oleh pemimpin selama lebih kurang setengah abad- tidak mudah dilakukan. Bahkan, ada kesan bahwa sejalan dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang selalu gembar-gembor mengumandangkan Pancasila, masyarakat terutama elit politiknya terkesan sungkan meskipun hanya sekedar menyebut Pancasila. Hal itu juga menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tidak hanya pamornya telah meredup, melainkan sudah mengalami degradasi kredibilitas yang luar biasa sehingga bangsa Indonesia memasuki babak baru pasca jatuhnya pemerintahan otoritarian laiknya sebuah bangsa yang tanpa roh, cita-cita maupun orentasi ideologis yang dapat mengarahkan perubahan yang terjadi. Mungkin karena hidup bangsa yang kosong dari falsafah itulah yang menyebabkan kerkembangnya ‘ideologi’ pragmatisme yang kering dengan empati, menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang mabuk kuasa, “aji mumpung”, dan lain-lain sikap yang manifestasinya adalah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepetingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.

Membangkitkan Pancasila

Tiadanya ideologi yang dapat memberikan arah perubahan politik yang sangat besar dewasa ini dikuatirkan akan memunculkan kembali gerakan-gerakan radikal baik yang bersumber dari rasa frustasi masyarakat dalam menghadapi ketidakpastian hidup maupun akibat dari manipulasi sentimen-sentimen primordial. Gerakan-gerakan radikal semacam itu tentu sangat berbahaya karena dapat memutar kembal i arah reformasi politik kepada situasi yang mendorong munculnya kembali kekuatan yang otoritarian maupun memicu anarki sosial yang tidak berkesudahan. Tidak mustahil kalau Pancasila tidak segera kembali menjadi roh bangsa Indonesia., dikhawatirkan akan muncul ideologi alternatif yang akandijadikan landasan perjuangan dan pembenaran bagi gerakan-gerakan radikal. Karena itu, bagi bangsa Indonesia tidak ada pilihan lain selain mengembangkan nilai-nilai Pancasila agar keragaman bangsa dapat dijabarkan sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Dalam hubungan itu, perlu pula dikemukakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa bukan lagi uniformitas melainkan suatu bentuk dari suatu yang eka dalam kebhinekaan. Pluralitas juga harus dapat diwujudkan dalam suatu struktur kekuasaaan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola kekuasaan agar dapat diperoleh elit politik yang lebih lejitimet, akuntabel serta peka terhadap aspirasi masyarakat. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa konsep persatuan dan kesatuan yang memusatkan kewenangan kepada pemerintah pusat dalam implementasinya ternyata lebih merupakan upaya penyeragaman (uniformitas) dan membuahkan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan. Nasionalisme yang merupakan identitas nasional yang dilakukan oleh negara melalui indoktrinasi dan memanipulasi simbol-simbol dan seremoni yang mencerminkan supremasi negara tidak dapat dilakukan lagi. Negara bukan lagi sebagai satu-satunya aktor dalam menentukan identitas nasional. Hal ini juga seirama dengan semakin kompleksnya tantangan global, masyarakat merasa berhak menentukan bentuk dan isi gagasan apa yang disebut negara kesatuan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sementara itu, perubahan paling mendasar terhadap UUD’45 adalah bagaimana prinsip kedaulatan rakyat yang pengaturannya sangat kompleks dalam sistem kehidupan demokrasi dapat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu harus dilakukan secara rinci dan disertai dengan rumusan yang jelas agar tidak terjadi multi interpretasi sebagaimana terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut telah dilakukan dengan ‘mengamandemen’ UUD’45 antara lain yang berkenaan dengan pembatasan jabatan Presiden/Wakil Presiden sebanyak dua periode, pemiliha Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung, pembentukan parlemen “dua kamar” (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah), pembentukan Mahkamah Konstitusi, pembentukan Komisi Yudisial, mekanisme pemberhentian seorang Presiden dan/Wwakil Presiden dan lain sebagainya. Namun sayangnya perubahan tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga meskipun telah dilakukan perubahan empat kali, ternyata UUD Tahun 1945 masih mengundang beberapa kekurangan. Pengalaman selama lebih kurang setengah abad praktek-praktek kenegaraan yang menyeleweng dari Pancasila telah mengakibatkan berbagai tragedi bangsa harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Akibat lain adalah ketertinggalan bangsa dibandingkan dengan negara-negara lain karena bangsa Indonesia selalu disibukkan dengan masalah-masalah internal bangsa seperti kesewenang-wenangan penguasa, pelaggaran HAM, disintegrasi bangsa serta hal-hal yang tidak produktiflainnya sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Untuk bangkit dari keterpurukan tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia, pertam-tama dan terutama harus kembali kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa. Caranya adalah para pemimpin bangsa dan negara tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato, tetapi mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan sehari-hari. Dengan demilian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam bentuk seremonial, melainkan benar-benar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Drs. Jimmy Hasoloan M.M. 2010. Pancasila, Cirebon: Penerbit Swagati Press



Tidak ada komentar:

Posting Komentar