Pengantar
Emha
Ainun Najib Manusia dengan Banyak Fenomena
Oleh:
Drs.
Nasrullah Zainul Muttaqien
Emha
Ainun Najib adalah sosok pemilik beragam fenomena. Orang boleh menyebutnya apa
saja, dari seniman, budayawan, cendikiawan, sampai Kyai Mbeling. Semua sebutan
pas untuk keberadaan dan penampilannnya di hampir setiap dunia, seminar, ceramah,
pentas, atau sekedar obrolan. Kerinduan atasnya adalah menikmati kehadirannya,
baik dalam obrolan langsung, kaset, maupun tulisan.
Lelaki asal desa Menturo, kecamatan Sumobito,
Jombang ini tentunya tak sengaja lahir sebagai seniman penulis, Kyai, atau
cendikiawan, karena takdir memang “tak terhitung”. Dia adalah orang yang
mengalami proses untuk menjadi dirinya yang baku sekarang ini, seperti yang
telah, tengah, dan akan terjadi pada diri setiap manusia. dia orang yang mencari,
dan kemudian menemukan.
“Masing-masing dari kita pasti
mempunyai takdir sendiri-sendiri dalam perjalanan hidup ini. Kita harus selalu
bertanya kedapa Allah, Sang Pencipta. Apakah wujud kitakelak. Tidak mungkin
orang seperti anda akan menjadi seperti saya semua, atau presiden semua,
tanyakan selalu kepada Allah!” begitu wejangnya kepada santri pada suatu saat
ketika hadir di salah satu “”rumah” dan “ibu” yang telah mengasuh dan
menempanya, Gontor, artinya, dia tidak menginginkan sosoknya kini, tetapi
menerimanya.
Dalam dunia sekarang ini religius
sufistik. Gaya bahasanya yang kenes, nakal, namun pas, membuat orang selalu
merindukannya meskipun tidak selalu mampu memahaminya. Penuturan Emha sering
dipenuhi bentuk satir, sindiran halus yang penuh dengan anekdot-anekdot khas
etnik nusantara, ditambah dengan pemunculan atau penawaran konsep istilah yang
hanya mampu bertahan dan berfungsi sesaat.
Kesenimanannya yang menonjol menjadi
ciri khas bahwa Ainun merupakan sosok yang sering kali sulit dipahami apa
maunya. Ainun telah menjadi orang yang dinantikan, bukan lagi menantikan, dan
setiap ceramah ia penceramah tau seminaris lainnya kecuali itu kemampuan
menulisnya yang sangat mengagumkan tentang apa saja serasa mampu menjadi
penyejuk. Isi tulisannya yang lebih memihak kaum menengah atau kelompok kelas
bawah, menyebabkannya pantas disebut “ummatan wasthan”, orang yang ditengah. Pemikirannya
cenderung, sehingga seoran Habibie sempat kelabakan ketika Ainun “desersi” dari
ICMI karena masalah Kedung Ombo yang berlarut-larut tak mampu diselesaikan oleh
ICMI (yang konon hendak memihak kaum dhu’afa’) itu. Lantas gengsi Habibie yang
cukup tinggi agaknya menolak memahami Ainun, dan Ainun pun meng counter-nya
dengan kekuatan ajaran Gontor, jiwa kebebasan. “Wong saya bukan cendikiawan,
tidak menjadi ICMI juga tidak patheken (kudisan),” begitu barangkali gumamnya
ketika desersi.
Sosok Emha Ainun Najib memang selalu
menarik untuk dibicarakan dan diamati. Deskripsi tentangnya sanggup memunculkan
tulisan panjang atau bait-bait tersendiri., meskipun tak seindah ciptaannya. Setiap
pemujanya ingin sepertinya, walau Ainun Najib sendiri selalu menolak ditiru,
bahkan menegaskan bahwa sosoknya bukan wujud manusia “uswatun hasanah”,
melainkan satu dari milyaran ciptaan Allah yang lain. Yang perlu icontoh adalah
Emha tanpa Ainun Najib. Lulu ia pun tersenyum berpaling, sambil terus
mendendangkan bait-bait syairnya.
Muqoddimah
Sosok Emha ialah lambang
ketidakmenentuan predikat yang justru lebih dekat untuk diterjemahkan sebagai
simbol dari “kodrat” kemanusiaan: suatu keragaman yang mencoba merangkum
keseluruhan, suatu parsialitas dari sebuah kekuatan fungsional individu yang
didambakan menjadi kekomplitan sebagai manusia kholifatullah.
Pendek kata, emha merupakan sosok
pribadi yang multi dimensional kumulatif, yang bila dicermati alur langkahnya
akan lebih dekat dan terpampang jelas pada kemultian dari variasi dimensi yang
dimilikinya. Ia berangkat dari suatu titik nada “suara nurani” yang
samar-samar, yang kian lam kian dilupakan banyak orang.
Ibarat sungai kecil, ia mencoba
mengalirkan arus secara berlawanan, tidak searah dengan gelombang sungai besar,
sebuah kerangka sikap keberanian yang “Masya Allah” tentunya.
“Tuhan yang ma’rifat-Mu tak terkira.
Antarkan kami berangkat menjadi
manusia.
Bukan seniman, politisi, hakim atau
penguasa.
Tuhan yang tak tertampung di kata.
Antarkan kami berangkat menjadi
manusia.
Bukan raja, budak, atau penguasa”
Demikian pintanya, intinya hanya
satu : ‘mendobrak ketidakberesan’
Dengan ekspresi ungkap yang lebih
lugas barang kali dapat dikatakan Emha adalah cendikiawan, budayawan, seniman
dan lain-lain dimana pada hakekatnya merupakan protes terhadap jerat
lingkaran-lingkaran itu, barangkali keangkuhan intelektual, kedua, kepalsuan
identitas, dan ketiga, keterasingan eksistensi seniman dari ikatan dan kepedulian
sosial.
Dan keunikan Emha, sebagai tokoh
muslim, itulah yang membangkitkan semangat keingintahuan berbagai pihak akan
kepribadian Emha, kemana arah kemauannya, apa sasaran sikap kontroversialnya:
serta bagaimana translasi riil dari kevokalan bicaranya.
Bagi sebagian pihak, barangkali,
Emha hanyalah lambang “kekonyolan” suatu abad yang masih akan menguakan “kekonyolan"
suatu abad, yang masih akan menguakkan misteri lebih jauh dalam tumpukan
lembaran sejarah para pendahulunya-katakanlah seperti Abunawas-yang
konsekwensinya konkritnya di balik tebakan-tebakan verbalnya itu ialah “kenihilan”.
Tapi tidak! Di balik semua itu ada sebuah corak pemikiran realistis pragmatis
yang juga banyak menyelimuti mayoritas ummat. Bukanlah corak pemikiran yang
sedemikian itu justru “wajib” untuk digapai dalam menjalani hidup ini? Tentu
saja harus yang bernilai kualitatif. Tapi, adakah kemutlakan? Adakah kesempurnaan,
keutuhan, ketotalan, ketidakcacatan? Adakah.....?!
Yang jelas seperti dalam do’anya di
atas, Emha meminta kepada Sang Tuhan untuk diantar menjadi manusia yang konteksnya
adalah fungsionil kualitatif, bukan sekedar material kuantitatif.
Sepintas Emha menempuh jenjang
pendidikan formal akademiknya dengan langkah sempoyongan, bahkan juga agak
kacau. Di Gontor tidak sampai tamat KMI, di UGM sempat berkutat hanya beberapa
bulan saja. Dan selebihnya, ia menegakkan tekad untuk memasuki Universitas
Alam. Gurunya siapa saja, kampusnya di mana saja, kurikulum atau mata
kuliahnya, apa saja. Pendeknya, situasi ‘darurat’ yang melingkari kehidupannya
telah mengantarkan Emha menjadi ia yang sekaran ini. Dari sudut pandang
psikologis, Emba berarti telah melakukan konpensasi (tindakan) positif dari
kegagalan-kegagalan yang pernah menghadang. Di Gontor ia bukan sekedar tidak
tamat, bahkan sempat diusir minggat dari pondok. “Justru karena saya diusirlah,
saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Sejak detik ini saya merasa
berkewajiban untuk kejam terhadap diri saya”.
Selam di Gontor, Emha telah
mendapatkan setruman pendidikan “war’i”. Baju hanya satu, tidak pernah punya
kasur apalagi pillow.
Dalam soal kepemimpinan dan
pergaulan, memang sejak di Gontor telah terlihat pada dirinya bakat-bakat
tersebut. Mas Kurdi (salah seorang staf redaksi Harian Surya yang menjadi
sohibul m sewaktu di Gontor), berkomentar: “Mas Emha memang sejak dulu memiliki
kepribadian menarik dan ‘ngangeni’ baik itu di kamar, di kelas dan di kelompok
olahraga khususnya sepakbola”.
Apa yang dipaparkan dalam buku kecil
ini sebenarnya merupakan penggalan kecil saja dari sekian dimensi kepribadian
Emha. Dan lagi, fukusnya diusahakan tidak keluar dari lingkaran konsepsi
pencarian ilmu sebagai aktivitas perjuangan sepanjang kehidupan.
(Redaksi
Darussalam Pos)
Intropeksi
antra kehendak Ilahidan Nafsu
Salah satu kelemahan orang Islam
adalah tidak bisa menaklukkan kehendak pribadi yang nyaris mendekati nafsu.
Saya menjadi sastrawan, saya menjadi saya seperti yang anda kenal adalah bukan
kehendak saya. Saya tidak mau menghabiskan waktu hanya untuk mengikuti kehendak
pribadi. Kalau menurut kehendak saya, waktu tidak akan pernah cukup.
Kalau kemauan saya cari hiburan,
menjadi sarjana, presiden atau yang enak-enak lainnya.
Seluruh kehendak saya datang dari
luar kehendak pribadi (Allah). Saya harus menciptakan suatu metabolitas supaya
yang datang menyentuh saya hanya kehendak-kehendak yang baik, kalau kehendaki
yang buruk semoga tidak menimpa saya, entah orang yang punya maksud tidak baik,
pemerintah, ilmuwa atau pihak yang berwajib lainnya. Saya berdo’a kepada Allah
semoga kehendak buruk tersebut menjauhi saya.
Jadi hidup ini saya penuhi untuk,
pertama, menggali kepekaan terhadap “maadza arooda Allahu ilaiyya” (apa yang
Allah kehendaki terhadap diri saya). Dengan ini Allah memberi potensi dan
wasilah yang beraneka ragam. Dibalik itu semua, Allah pasti memberi amanat,
“maadza arooda Allahu ilaikum...?” itulah pekerjaan saya yang nomor satu. Dalam
surat Yasin (36) Ayat 82 Allah berfirman:
إنما أمره
إذا أراد
شيئا أن
يقول له
كن فيكون
Artinya:
“Sesungguhnya
keadaan-Nya (Allah) apabila Dia menghendaki sesuatu, lalu Dia berkata ‘Jadi’
maka jadilah ia”.
Nomor
pertama, “Amru” atau amanat (Innama Amruuhu), ketiga Qoulullah (Yaqulullahu),
dan keempat adalah efeknya: Jadi! (Kun!), dan sebagai konsekwensi atau
akibatnya adalah jadilah (Fa yakun) sedng Irodah atau kehendak Allah itu unsur
kedua.
Maka saya tidak berani berkehendak
kalau tidak yakin bahwa kehendak itu berangkat dari Innama Amruhu, sebab
sehebat-hebatnya kehendak saya, misalnya: ingin jadi presiden, orang terkenal
dn lain sebagainya, kalau tidak berkat dari “Amruhu” tadi, maka hasilnya tidak
maksimal. Ya ... mungkin anda bisa mencapai apa yang anda kehendaki, tetapi
hanya sebatas apa yang kehendaki saja, karena anda lebih percaya pada kehendak
anda. Kalau amanat Allah, lho... kok anda tidak percaya pada amanat Allah...?!.
siapa yang nomor satu dalam hidup anda. Kalau tidak menomorsatukan Allah
berarti anda tidak percaya “Qul Huwahhalu Ahad”, anda tidak beriman kan...?!.
jadi tugas muslim yang pertama adalah mengetahui apa yang Allah kehendaki
terhadap diri mereka. Kalau itu yang anda jalankan, dan ketemu, maka anda akan
mendapatkan kehendak Allah tersebut berlipat ganda, buktinya sekarang saya
sampai kekurangan waktu untuk menulis ayat-ayat allah di koran-koran, di
majalah-majalah, dan di buku-buku dan lain-lainnya. Allah berfirman dalam surat
Al-Baqoroh (1) ayat 261:
فى كل
سنبلة مائة
حبة
Artinya:
“dan
setiap ranting terdapat seratus buah”
Kalau saya bercita-cita jadi
sastrawan, paling jadi sastrawan, gampang sekalikan....! aku tak perlu
mengurusi sekolah, ummat Islam, rapat akbar NU, kesenian, Abdurrahman Wahid,
dan kalau saya bercita-cita ingin menjadi Ulul Albab, paling jadi begitu saja.
Saya nggak tahu puisi, nggak bisa ketemu anda (Tim Ekspedisi 8 Windu Darussalam
Pos), nggak ketemu TERISDA (Teater Islam Darussalam). Saya tidak pernah
mengandalkan kehendak saya, maka nggak heran kalau sekarang kerepotan
dikarenakan banyaknya amanat allah yang tidak dijalankan 99% umat manusia,
karena mereka hanya menjalankan hawa nafsu mereka masing-masing. Jangan
disangka bahwa bercita-cita jadi ini, jadi itu bukan hawa nafsu....!
Biasanya, orang modern menyuruh
anaknya jadi kyai, dokter atau yang lainnya. Itu nafsu. Ibarat orang masuk
hutan, ia hanya mengambil kayu jati saja. Kalau ketemu besi, maka besi itu
dibiarkan saja. Tapi lain halnya dengan saya. Saya masuk hutan dikarenakan
amanat Allah (Amruhu), saya disuruh mencari hikmah apa saja yang ada di
dalamnya, apapun saya temui di hutan tersebut adalah hikamhnya. Kalau ketemu
rumput saya syukuri, saya nikmati dan saya pelajari. Akhirnya saya bisa ketemu
semuanya. Kalau anda masuk hutan hanya untuk mencari kayu jati, lalu tersentuh
besi anda tidak menoleh. Sama saja kalau anda mencari uang, lain halnya kalau
anda mencari amal, anda akan mendapat uang, kehormatan, karomah, dapat
pergaulan dan lainnya. Seperti orang Cina yang mencari uang, di samping itu
mereka juga mendapatkan kebencian dari orang lain dan memperoleh dosa.
Bukan berarti saya menyuruh anda
menarik cita-cita masing-masing, tapi jangan lupa bahwa Allah itu mempunyai
kehendak yang sangat baik terhadap diri anda. Kalau anda sekolahdi tempat saya,
maka soal pertama saya lontarkan adalah: “Maadza arooda Allahu Ilaika...?” (Apa
yang Allah kehendaki terhadap diri anda...?) kalau anda menjawab “Liya’bud”
(untuk meyembah) itu yang abstraknya, tetapi apa yang sebenarnya yang
dimaksudkan menyembah disini, apakah petani, sastrawan, penulis puisi...? mencari
kehendak Allah itulah yang merupakan perjalanan yang panjang, sunyi, penuh
liku-liku yaitu berjalan dalam diri sendiri.
Selama ini anda dididik untuk menuju
perjalanan melalui luar diri anda, punya ini, punya itu, anda pikir itu semua
alat untuk mencapai kebahagiaan anda...? Padahal kebahagiaan itu tidak bisa
diwakili dengan itu semua (Harta kekayaan, tahta, wanita, dll). Banyak orang
yang mencari Allah melalui jalan luar diri mereka, baca buku tentang konsep
ketuhanan, teologi, filsafat, wah... banyak sekali...! Mereka fikir Allah ada
dalam buku-buku tersebut. Tidak begitu, tapi yang sebenarnya ada di dalam diri
anda sendiri, kalau begitu anda sering diucapkan di muhadloroh pada surat
Al-kahfi (18) ayat 109 Allah berfirman:
قل لو
كان البحر مداد
الكلمات ربى
لنفد البحر قبل
أن تنفد
كلمات ربى
ولو جئنا
بمثله مددا
Artinya:
Katakanlah:
“Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) perkataan-Ku, niscaya
keringlah laut tersebut sebelum habis perkataan Tuhan sekalipun. Kami datangkan
tinta sebanyak itu lagi sebagai tambahan".
Selama ini di Gontor anda menyangka
ilmu itu nun jauh disana. Tidak begitu, yang benar adalah: ‘Lau Kaana al-Bahru
Midaadan Likalimaati Robbii walau Ji’na Bimitslihi Madadaa”.
Karena kalau anda sudah sampai
disitu, tahu “Madzaa Arooda Allahu Ilaikum”(apa kehendak Allah terhadap anda).
Maka terbukalah semua dasar ilmu Allah, walaupun anda tidak bisa melihat
seluruhnya, anda bisa melihat seluruhnya, anda bisa melihat “kalimata Rabbi”,
sehingga nggak cukup waktu, koran, majalah, untuk menulisnya (Kalimaatu Rabbi),
karena kalimatu “Rabbi” itu luar biasa banyaknya, oleh karena itu Al-Ghazali
mengatakan bahwa harta dengan ilmu bertentangan, kalau ilmu ada yang dijaga,
sedangkan harta anda yang menjaganya, maka saya bilang fasal nomor satu ialah
“Anta’rifuu Maadza Arooda Allahu Ilaikum” (apa kehendak Allah terhadap anda),
itu artinya menuntuk ilmu.
Selama
ini banyak yang menyangka ilmu itu hanya ada di bangku sekolah dan perguruan
tinggi saja. Itu semua betul. Tapi bukan jalan satu-satunya, saya sendiri bisa
membuktikannya (tidak melalui bangku sekolah). Silahkan anda membuat ring
antara saya dengan kaum ilmuwan. Bukan saya mau berbesar diri, tapi saya mau
membuktikan bahwa apa yang saya katakan itu benar.
Melihat Dunia dari Secangkir Teh
Kita bisa belajar kapan dan di mana
saja, nggak usah jauh-jauh, teh misalnya, anda minum teh, tapi gagasan anda
tentang teh tidak ada perkembangan. Ya ... Sama saja. Sampai kapanpun anda berpendapat
bahwa teh itu kecoklat-coklatan, dimasukan gula dimasukan airnya. Tidak ...!
Tidak hanya itu saja, harus ada perkembangan. Kalau anda mau berfikir, melalui
teh anda bisa melihat dunia.
Sewaktu
melihat teh, anda teringat petanian teh, berapa manusia yang nasibnya sama
dengan petani teh, sistem pemerintah dalam menangani teh, monopoli pemerintah
tentang teh, anda teringat Tomi lalu penjualnya Mas Yanto dia termasuk tingkat
yang mana dalam ekonomi masyarakat kita, berapa jumlahnya orang yang sama nasibnya
dengan Mas Yanto, dan seterusnya. Itu saja sudah cukup. Jangan berkhayal ingin
menemui Ali Yafie, Nur Cholis Majid, Amien Rais dan Jamaluddin Rahmat. Boleh
menemui mereka hanya sebagai jendela, sedangkan kuncinya ada pada diri anda.
Bagaimana Membuka Gudang Ilmu?
Kalau
anda ingin membuk gudang ilmu dengan mudah, maka anda, pertama, harus melatih
kepekaan, kecerdasan, imajinasi, analisa, semuanya harus dilatih terus. Kalau sudah
dilatih, anda nanti nggak sukar memikirkan masalah, karena sudah terlatih sendiri.
Seperti usus anda, nggak diperintahkan sudah berjalan sendiri dan membagi
makanan ke dalam perut, enakkan...?
Kedua, yang namanya gudang ilmu itu
luas, banyaknya ilmu anda tergantung pada aktifitas anda dalam mengelola
kepekaan, kecerdasan, imajinasi dan analisa. Kalau anda cangkir, maka ilmu yang
anda dapatkan sebesar cangkir. Jika anda drum, maka ilmu anda yang anda
dapatkan sebesar drum. Sekarang terserah anda, mau jadi cangkir mau jadi drum,
atau menjadi sungai.
Ketiga, anda harus menjadi kunci
untuk membuka gudag ilmu. Untuk mencari kehendak Allah anda harus berlatih
terus. Anda tidak bisa menendang bola yang tingginya satu meter dan bisa
memasuki gawang, kecuali anda harus latihan terus walaupun kadang-kadang salah.
Anda jangan berfikir setelah saya kasih resep anda langsung bisa. Tidak!
Sekarang anda boleh ambil seratus
sosiolog dan suruh pergi bersama saya menuju sebuah kampung, mereka telah
memiliki ilmu banyak dari kampus, dari sekolah serta telah mengetahui banyak
cara menendang bola. Yang menjadi persoalan bagi mereka, para ilmuwan sekarang,
apakah cukup hanya tahu bagaimana menendang bola saja...? silahkan mereka pakai
Mergin atau yang lainnya dan saya pakai intuisi saya “innama amruhu” dan
“an-yaqulalahu” atau pakai “qoulullah”.
Begitu
juga dengan anda yang sudah cukup tahu bagaimana menendang bola dengan baik,
yang menjadi persoalan selanjutnya adalah “what next?” cukuplah dengan hanya
mengetahui.
Mencari Irodatullah
Saya
mencari “iradatullah” sejak kecil, jauh sebelum masuk Gontor. Saya masuk Gontor
atas inisiatif saya sendiri. Sebenarnya setelah kelas lima saya mau masuk
Gontor langsung, tapi tidak bisa – karena belum tamat SD Gontor dahulu. Sewaktu
di Gontor saya hanya memakai satu baju pramuka saja, padahal baju saya di koper
banyak. Semua itu saya lakuka agar saya tidak ditutupi kehendak-kehendak di
luar “iradatullah”. Kalau saya berpakaian banyak, saya ditutupi kehendak selain
kehendak Allah, sehingga saya tidak disibukkan oleh pakaian. Jadi dengan itu,
apa yang ditutupi pakaian akan terbuka, sebenarnya itulah hakekat puasa.
Puasa itu menghapus daki-daki dari
kulit, sehingga pori-pori dapat menghirup udara dengan segar. Kalau sudah
dibuka pori-porinya, berarti telah menomorduakan dunia. Tak punya rumah, tak
punya mobil mewah tak apa-apa. Yang kesemuanya itu boleh dimiliki, yang penting
tidak menjadi daki kehidupan anda. Kalau sudah begitu, sewaktu-waktu hilang tak
jadi masalah. Karena, kalau sudah terikat dengan barang-barang tersebut.
Berarti kulitnya sudah ditutupi oleh daki, sehingga pori-pori tidak bisa
menerima udara murni, artinya rohani tidak bisa menerima ilmu. Itu saja kalau
anda ingin maksimal, maka anda harus mengerjakan apa yang dikehendaki oleh
Allah. Anda boleh menjadi sastrawan, petani, dan lain-lainnya. Tapi yang menjadi
persoalan Adalah sastrawan yang bagaimana, petani yang bagaimana dan kalau jadi
pedagang, pedagang yang bagaimana...? Sesuai apa tidak dengan ajaran Islam....?
Sebenarnya kita (ummat islam) sudah
dikasih “Ihdinash-shiratha-l-mustaqim” (jalan yang lurus), kalau tidak
dikerjakan berarti gilakan...! Sudah dikasih sejak dulu (Akmaltu lakum
dinukum). Sejak zaman Rasulullah, tapi anda tidak mengerjakannya, lho kok minta
lagi, gila dong kalu begitu. Dikasih teh, tidak diminum, kok minta lagi...?
Berapa juta ummat islam yang gila karena tidak menjalankan
“Ihdinash-shiratha-l-mustaqim” (hidayat Allah).
Kalau anda sudah mengerjakan menurut
kehendak Allah (sesuai dengan ajaran Allah). Maka anda harus mencari hikmahnya
sampai mati, kan percaya Allah sampai mati...? “Idza Ashobathum mushibatun”,
ashobah disini artinya ditimpa atau dikenai, kan boleh jadi kena rahmat, uang
atau yang lainnya.
Menurut
sayaa tidak ada konsep ‘musibah’ yang artinya ‘kecelakaan’ karena di depan
irodah Allah ada amanat-Nya, karena semuanya, hikmah, karomah, mawaddah. Yang
penting rumusannya adalah “La’allakum tatafakkaruun” (apakah anda mau
berfikir..?). Apakah setiap yang tabrakan mobil itu kecelakaan...? Tergantung
orangnya. Uang itu kan belu tentu rizki...!
Al-Qur’an Sebagai Sumber Informasi Sebuh
Pengakuan
Ilmu itu ada pada satu titik.
Apabila satu titik itu sudah anda dapati, maka anda menguasai titik-titik
lainnya. Gejala politik sama dengan gejala alam, bursa efek, industri, usaha.
Karenasemua itu sudah merupakan “Sunatullah”.
Inilah yang menjadi pegangan saya,
informasi Allah. Informasi Allah itu ada tiga macam, yaitu : (1) Alam, kita
sebut dengan hakikat, lalu (2) manusia dan kehidupan serta realitas kehidupan,
kita sebut syariat, dan yang terakhir (3) Al-Qur’an, yang terdapat dalamnya
ma’rifat yang meliputi ketiga informasi ini. Karena itu, bacalah ketiganya.
Ketiga informasi ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berkaitan. Dan ada
denyut diantaranya. Kalau anda telah menemukan denyut diantara ketiganya,
terlihatlah ma’rifat, setelah itu anda baru tahu Al-Qur’an itu begini, o..
begitu dan pantas begini dan sebagainya dan seterusnya. Itu, kalauanda sudah
mengetahui dialektika diantara ketiganya. Itu saja.
Kalau memakai pendekatan ini, bila
ditulis secara orisinil tidak akan habis-habis setiap hari. Lalu informasi
Allah yang sebanyak-banyaknya itu, bagaimana membacanya? Karena banyak orang
membaca buku tetapi tidak membaca informasi Allah. Padahal buku itu adalah
“tangan panjang” dan informasi Allah yang belum benar, (contoh) fiqih saja bisa
salah, apalagi buku-buku ilmiah. Maka sudah seharusnya anda membaca yang
pertama “ummul ulum” yaitu Al-Qur’an. Anda mau cari ilmu apa, ada di Al-Qur’an.
Tapi (sebelumnya) harus percaya dulu dengan “laaroiba fihi, hudan lilmuttaqin”
Misalnya, anda membaca alif-lam-mim (), adah apa artinya? (tidak
terinterpretasikan) o....! jadi Allah hanya ingin menunjukkan bahwa manusia
sedikit ilmunya. Begitu, Allah maha tahu. Sedangkan pengetahuan manusia
terbatas apa yang telah diberikan Allah saja. percayalah...!
Al-Qur’an itu “hudan” informasi,
sekaligus rahmat. Sedangkan buku diperpustakaan belum tetu begitu. Al-Qur’an
adalah “hudan lilmutttaqin” , matematikanya: Al-Qur’an bukanlah petunjuk bagi
orang-orang yang tidak bertaqwa. Berarti kalau anda ingin mendapat petunjuk,
bertaqwalah! Dan karena itu pula Al-Qur’an harus dibaca beribu kali, sebaba
tingkat (rangking) ketaqwaan selalu naik turun.
Dari
manakah denyut atau sentruman informasi Allah?! Nomor satu itu. “yatafakaruuna
fil khalqissamawati wal ardhi”. Kedua, informasi teknis dengan membaca buku
sebanyak-banyaknya. Tapi, tidak semua yang membaca buku terus pintar, tidak
selalu! Jadi ibarat tinju, belum pasti yang banyak memukul banyak mendapat
angka, karena tergantung “akurat” ataau tidaknya. Kalau anda membaca temanya
pas dengan situasi hidup anda, itu akan memjadi ilmu. Perhatikan, cara membaca
penting. Seperti dalam bulu tangkis, harus tahu cara memukul. Kadang-kadang
tanpa tenaga. Lalu dengan dropsot-dropsot, masuk dan menang. Jadi harus dicari dropsot-dropsot
dalam membaca buku. Saya tidak pernah lengkap membaca buku kecuali novel-novel
silat. Dan jang meniru cara membaca saya itu, karena tidak konvensional.
Kiat Hidup & Keberhasilan Emha Mencontoh
Gontor
Saya sering dimintai tulisan
gila-gilaan. Saya harus menulis di tujuh koran sehari secsara rutin, dan itu
harus baru (aktual) terus. Di Gontorlah diterapkan hal semacam ini. Dengan
adanya latihan pindah dari bel kebel itu anda dibiasakan memanage.
Gara-gara
di Gontor pulalah saya menjadi enteng menyetel yang “di dalam” buktinya
kadang-kadang saya dibajak oleh wartawan dan dibawa kekantornya, lalu
disediakan mesin ketik, atau komputer lalu ditunggu satu jam, setelah selesai
saya diberi honor, nah yang di “dalam’ ini, dalam keadaan yang begini saya harus
menyetel dengan baik. ingatlah, hidup itu kholifah atau manajemen dalam arti
yang luas.
Saya
mempunyai kiat hidup dari Gontor selama ini. Ketika saya tiba di saat paling
kritis, Gontor terasa begitu bermanfaat dalam hidup saya. Entah, kalau saya tidak
di Gontor, saya tidak akan bisa menghadapi persoalan itu (setelah dikeluarkan
dari Gontor).
Entah
siapa yang menyuruh saya berbuat dengan hanya berbaju satu, selama dua setengah
tahun. Saya tidak pernah ganti baju. Dulu saya tidak berfasilitas seperti kebanyakan
santri. Saya cuma satu baju, itu pun baju pramuka, selebihnya kaos sepak bola.
Bukan karena orang tua saya tidak mampu dan Gontor masih sederhana! Dan untuk
tidur, saya tidak punya tikar dan kasur. Bila malam tiba, saya tidur terakhir
sambil mencari kalau-kalau ada kasur yang kosong. Juga bila baju saya yang
satu-satunya di cuci, di hari jum’at, saya harus menungguinya hingga kering
selama dua jam berikutnya.
Mengembara ke “Dalam”
Etos “khalifah”, etos untuk memanage
kehidupan sedemikian rupa. Itu dengan diri sendiri mengembara kedalam, mencari
diri. Aku ini siapa? Jadi, apa yang di Gontor tangkaplah sukmanya, bukan
informasinya, karena informasi itu gampang. Ada di mana-mana. Misalnya anda mau
belajar filsafat atau psikologi, cukup dengan konsentrasi setengah tahun saja
dan bisa menyamai sarjana.
Maka,
kalau anda sekolah di pesantren, anda tidak pernah mencari diri, tidak mencari
“amrullah”, itu apa? Karena anda dibentuk oleh lingkungan anda, sehingga nanti
anda bercita-cita, menjadi insinyur, dokter, ustadz atau apa saja. Dimana itu
semua tidak berdasarkan kepada pencarian kedalam, akan tetapi berdasarkan
pendapat di masyarakat. Allah telah menyuruh kamu...! Nah, sekarang carilah apa
yang disuruh Allah kepadamu. “Masak” enam tahun di pondok tidak bisa. Cobalah,
kalau sudah sampai tapal batas, tinggal beristirahat! “Maadzaa Ya’muru Allah?”
Allah menyuruh saya apa? Pertanyaan ini sangat penting sekali. Kalau tidak,
anda mau berbuat apa? Memangnya siap yang bikin anda kalau bukan Tuhan! Asal
tahu, kalau belajar “Tasawuf”, inilah intinya! Kalau belajar “management”, ya
itu juga. Belajar apapun memang intinya itu.
Karena
itu janganlan lantas anda bercita-cita seperti saya. Karena anda bukan saya,
karena anda punya harga sendiri. Anda adalah anda. Dan anda pun harus mampu
mempunyai pertemuan khusus dengan Allah, dan bertanya kepada Allah, apa, siapa
saya ini? Cara mencari tahu bakat anda dan perintah Tuhan buat anda, tentu saja
demngan melihat potensi. Contoh: kok naluri saya begini, saya cocok pedagang,
ustadz dan lain-lainnya. Kalau sudah ketemudan cocok baru etos yang lain.
Kembangkan saja etos “mengkhalifahi dan memanage” dari Gontor, seperti yang
saya katakan tadi. Dengan tidak adanya waktu mubazir, tetapi terus menerus
(efektif) dan memang begitulah seharusnya.
Rekreasi pun Harus Produktif
Saya
punya penyakit dari Gontor, yaitu tak tahan menganggur, sampai sekarang. Bila
capek bekerja, saya bekerja yang lain. Setiap kerja yang baru adalah istirahat
saya. Jadi menurut saya, konsep istirahat orang modern itu tidak benar, yaitu
dengan berekreasi. Karena saya tidak bisa ke Pantai Selatan untuk berekreasi,
saya mungkin kesana tapi dalam rangka pekerjaan pribadi dan bukan merupakan
rekreasi. Sebab rekresi saya adalah pekerjaan yang lain dari sebelumnya. Kalau
capek menulis, saya main bulu tangkis, lalu membaca. Itulah rekreasi saya.
Jadi
rekreasipun produktif! Kalau begini hidup akan enak, tidak pernah diam,
sekalipun tidur. Maksud saya begini, tidur itu tidak saya progamkan, karena
tidurpun harus sejati, “haqqon”, harus benar-benar. Bila anda secara fisik dan
mental benar-benar butuh tidur, sehingga “bluk”! anda tertidur langsung, inilah
tidur sejati. Saat ini, orang sekarang tidak seperti itu, wah! sudah jam
11.00, jam tidur. Lalu tidurlah mereka.
Bila itu terjadi, yang tidur sebenarnya bukan dia, tapi program-program
hidupnya.
Kalau
saya tidak ada kepastian. Kalau menurut teori umum, bila dihitung hutang tidur
saya itu telah beribu-ribu jam. Rutinitas tidur saya dari jam 07.00 hingga jam
08.00 pagi hari. Setelah itu bekerja lagi samapi habis maghrib. Nah, sehabis
maghrib ini saya mengantuk lagi biasanya saya tidur satu jam lagi. Setelah itu
begadang sampai pagi, sepanjang malam tidak tidur. Bila menulis, saya tidak
harus menulis terus, kalau saya capek saya akan melakukan pekerjaan lain.
Karena menulis itu tidak boleh non stop. Sebab otak setelah bekerja sekian jam
lelah, harus istirahat. Dan yang bekerja setelah itu bukan otak lagi, tetapi
fisik dan perasaan. Misalnya dengan mendengarkan musik, saat itu yang bekerja
perasaan. Nah, kalau fisik dan perasaan sudah capek! baru kita menggunakan otak
lagi dan seterusnya. Kalau sudah begitu, semua pekerjaan menjadi istirahat bagi
kita.
Bagaimana
Seharusnya
Kalau untuk saya, santri itu bisa
mengembangkan konsep pemikiran sendiriadapun pemikiran santri menurut saya,
pertama Etos Religitas, Kedua: Etos kemandirian.
Santri
itu mengembangkan kemandirian di banding contoh-contoh sosial yang lain. Santri
mungkin untuk mandiri karena ia hidup di pesantren, di mana ia untuk berlaku
tidak manja dll. Ini adalah jawaban untuk masyarakat dunia.
Kalau
anda ngomong tentang apa isi televisi, anda ngomong tentang massa isi kota
metropolitan, apa isi bioskop, bagaimana etalase industri, bagaimana manusia
diaduk di dalam mesin yang besar yang dinamakan industrialisasi. Jawabnnya satu
yaitu Religiutas. Manusia harus di kembalikan, diberi peluang atau dibukakan
kembali pintu kepada Tuhan. Karena sistem yang berlaku jadi etos santri itu
harus dikembangkan. Yang pertama tadi, yaitu etos Religiutas. Jadi santri harus
anda pahami sebagai etos.
Etos
itu apa, “Ma hua etos”. Etos itu mengandung watak , mengandung “toriqoh”,
kepribadian dsb. Jadi jawaban masa depan ini adalah Religiusititas. Kalau
indristualisasi sudah mengurung masyarakat dunia ini dan mereka akan mengalami
kekeringan spiritual, mereka semakin jauh dari Tuhan. Karena industri pada
hakekatnya bertentangan dengan agama. Industri itu pekerjaannya melampiaskan
orang dari butuh menjadi tak butuh, dari enggak beli dibikin beli. Kebutuhannya
sebetulnya enggak prinsip, tapi disuruh-suruh butuh dengan iklan segala macam
setiap hari.
Padahal
pekerjaan agama adalah mengendalikan nafsu. So, ini adalah dua mahkluk, ini
dajjal lawan malaikat.
Etos
yang kedua adalah etos kemandirian. Yang anda omongkan ini adalah tentang etos
kerja, populasi, jumlah penduduk keseimbangannya dengan kapasitas bumi., sarana
dan prasarana. Maka yang akan menang bersaing dimasa mendatang, sepuluh tahun
kedepan ini, paling tidak adalah anak yang sekarang belajar mandiri.
Jadi
ente enggak usah peduli. Abdurrahman Wahid (Gus-Dur-red) atau Bil Clinton itu
ngomong apa tentang santri. You just build your self, anda bangun diri anda
lalu bilang kepada setiap orang: Santri itu dua hal, relegiusitas dan mandiri.
Udah itu saja, ndak usah peduli sama lainnya.
Lalu penilaian anda terhadap dunia pemikiran
santri sekarang, bagaimana?
Engga’
usah bicara tentang dunia pemikiran, sekali lagi ngga’ usah, sebab anda di
seret oleh para psikolog kota, berfikir yang ngga’ –ngga’. Kalau anda menemukan
santri itu rekegiusitas, Do it! I’mal, I’mal, II’mal. Nanti di tengah nada
“Ta’malu Syai’an”, nanti di butuhkan pemikiran. O....kita harus berfikir
tentang ini, O...saya harus bikin motor sendiri, kalau begitu saya harus
mengembangkan pemikiran tentang ban, tentang busi, listrik dan lain sebagainya.
Jadi
pemikiran itu hanya di perlukan sebagai “Thoriqah” dari amal atau sebagai alat
dari amal anda, jangan serius-serius berfikir, engga’ ada angin engga’ ada
hujan kok berfikir. Ngapain?!......
Yang
penting. Anda kerjakan apa yang jelas, di tengah pekerjaan anda, anda pasti
dituntut untuk berfikir, Nah itu yang dinamakan pemikiran. Jadi jangan engga’
ada hujan engga’ ada angin ribut, tiba-tiba anda menyusun pemikiran. Apa
itu...! Nanti anda berani ngomong ini-itu, ngomong tentang Saudi, Pakistan,
Komunisme yang jatuh, Post Madernisme, ngapain ...? itu semua nanti akan anda
perlukan, kalau memang ada kebutuhannya dalam amaliyah anda, gitu lho, jadi
jangan di balik.
“Ya
ayyuhalladzina aamanu ittaqulloh faltanzur maqoddamat lighoddin “Pusatkan diri
selama di pondok lihatlah apa-apa yang akan terjadi di depan dan apa yang akan
kami lakukan, kalau kamu sudah menemukan, baru kamu paham, Oo..., kalau begitu
ini yang seharusnya saya lakukan.
Misalnya
saya akan bekerja sebagai pemikir bekerja sama maka saya akan mempelajari ilmu
sosial, O...misalnya saya akan jadi sutradara, maka saya berusaha untuk
mempelajari ilmu-ilmu kesutradaraan, O...saya akan mempelajari hal-hal mengenai
perdagangan.
Jadi
pemikiran tentang perdagangan itu diperlukan, karena anda mau berdagang begitu
seterusnya bukan diam-diam ngga’ ada hujan engga’ ada angin terus anda berfikir
tentang perdagangan padahal anda tidak berkeinginan untuk menjadi pedagang.,
kalau anda bertanya tentang lombok pada Cak Nun, saya tanya dulu, Ente mau
tanam lombok, jualan lombok atau mau apa, kalau ente engga’ mau tanam lombok,
jualan lombok, ngga’ usah tanya lombok ada saya.
Jadi harus ada relevansinya?
Iya. Itu namanya “Thoriqot” jangan
seperti kaum intelektual modern di kota-kota, schooler-schooler barat. Itulah
yang namanya ‘Al-maghdud’. He think always do nothing. Ilmunya meningkat,
tetapi mentalnya tidak menjadi lebih kuat dan hatinya tidak menjadi lebih
lapang.
Tetapi saya pernah membaca bukunya Adi Sasono
tentang peran serta kaum intelektual. Misalnya dalam pembangunan, mereka tidak
turun praktis tetapi memberikan kebijakan dan penelitian ataupun lainnya
Adi sasono? Adi sasono turun praktis
dalam pembangunan? Anak buahnya membantu para investor untuk
menggusur-menggusur pasar. I give you this information, kalau tidak percaya
sekarang silahkan pergi ke Jombang. Silahkan bertemu dengan anak buahna Adi
Sasono, yang bantuin mereka adalah para investor bupati dan lain sebagainya
dalam menggusur perdagangan-perdagangan tradisional. Dia memang tidak turun
praktis, tapi saya tahu apa yang dia maksud.
Kalau
ente ingin jadi intelektual, ndak apa-apa. Intelektual sebagai pekerjaan, anda
ingin jadi seorang pemikir, tapi saya bukan seorang pemikir meski saya berani
menghadapi semua para pemikir, but i am not thinker, sebab pemikiran itu hanya
dibutuhkan ketika kita mengerjakan sesuatu, berfikir tentang apa tidak di
tentukan oleh pekerjaannya apa.
Makanya
saya bukan intelek, bukan cendikiawan. Kecendikiawanan bukan pekerjaan saya,
pekerjaan saya harus sosio-hervas. Maka dalam pekerjaan sosio-hervas itu
dibutuhkan pemikiran-pemikiran, kreativis.
Emha Ainun Najib. 2002. Melihat Dunia dari Secangkir
Teh, Warta Mingguan Darussalam Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar