Rabu, 11 Desember 2013

Melihat Dunia dari Secangkir Teh



Pengantar
Emha Ainun Najib Manusia dengan Banyak Fenomena
Oleh:
Drs. Nasrullah Zainul Muttaqien
Emha Ainun Najib adalah sosok pemilik beragam fenomena. Orang boleh menyebutnya apa saja, dari seniman, budayawan, cendikiawan, sampai Kyai Mbeling. Semua sebutan pas untuk keberadaan dan penampilannnya di hampir setiap dunia, seminar, ceramah, pentas, atau sekedar obrolan. Kerinduan atasnya adalah menikmati kehadirannya, baik dalam obrolan langsung, kaset, maupun tulisan.
            Lelaki asal desa Menturo, kecamatan Sumobito, Jombang ini tentunya tak sengaja lahir sebagai seniman penulis, Kyai, atau cendikiawan, karena takdir memang “tak terhitung”. Dia adalah orang yang mengalami proses untuk menjadi dirinya yang baku sekarang ini, seperti yang telah, tengah, dan akan terjadi pada diri setiap manusia. dia orang yang mencari, dan kemudian menemukan.
            “Masing-masing dari kita pasti mempunyai takdir sendiri-sendiri dalam perjalanan hidup ini. Kita harus selalu bertanya kedapa Allah, Sang Pencipta. Apakah wujud kitakelak. Tidak mungkin orang seperti anda akan menjadi seperti saya semua, atau presiden semua, tanyakan selalu kepada Allah!” begitu wejangnya kepada santri pada suatu saat ketika hadir di salah satu “”rumah” dan “ibu” yang telah mengasuh dan menempanya, Gontor, artinya, dia tidak menginginkan sosoknya kini, tetapi menerimanya.
            Dalam dunia sekarang ini religius sufistik. Gaya bahasanya yang kenes, nakal, namun pas, membuat orang selalu merindukannya meskipun tidak selalu mampu memahaminya. Penuturan Emha sering dipenuhi bentuk satir, sindiran halus yang penuh dengan anekdot-anekdot khas etnik nusantara, ditambah dengan pemunculan atau penawaran konsep istilah yang hanya mampu bertahan dan berfungsi sesaat.
            Kesenimanannya yang menonjol menjadi ciri khas bahwa Ainun merupakan sosok yang sering kali sulit dipahami apa maunya. Ainun telah menjadi orang yang dinantikan, bukan lagi menantikan, dan setiap ceramah ia penceramah tau seminaris lainnya kecuali itu kemampuan menulisnya yang sangat mengagumkan tentang apa saja serasa mampu menjadi penyejuk. Isi tulisannya yang lebih memihak kaum menengah atau kelompok kelas bawah, menyebabkannya pantas disebut “ummatan wasthan”, orang yang ditengah. Pemikirannya cenderung, sehingga seoran Habibie sempat kelabakan ketika Ainun “desersi” dari ICMI karena masalah Kedung Ombo yang berlarut-larut tak mampu diselesaikan oleh ICMI (yang konon hendak memihak kaum dhu’afa’) itu. Lantas gengsi Habibie yang cukup tinggi agaknya menolak memahami Ainun, dan Ainun pun meng counter-nya dengan kekuatan ajaran Gontor, jiwa kebebasan. “Wong saya bukan cendikiawan, tidak menjadi ICMI juga tidak patheken (kudisan),” begitu barangkali gumamnya ketika desersi.
            Sosok Emha Ainun Najib memang selalu menarik untuk dibicarakan dan diamati. Deskripsi tentangnya sanggup memunculkan tulisan panjang atau bait-bait tersendiri., meskipun tak seindah ciptaannya. Setiap pemujanya ingin sepertinya, walau Ainun Najib sendiri selalu menolak ditiru, bahkan menegaskan bahwa sosoknya bukan wujud manusia “uswatun hasanah”, melainkan satu dari milyaran ciptaan Allah yang lain. Yang perlu icontoh adalah Emha tanpa Ainun Najib. Lulu ia pun tersenyum berpaling, sambil terus mendendangkan bait-bait syairnya.

Muqoddimah
            Sosok Emha ialah lambang ketidakmenentuan predikat yang justru lebih dekat untuk diterjemahkan sebagai simbol dari “kodrat” kemanusiaan: suatu keragaman yang mencoba merangkum keseluruhan, suatu parsialitas dari sebuah kekuatan fungsional individu yang didambakan menjadi kekomplitan sebagai manusia kholifatullah.
            Pendek kata, emha merupakan sosok pribadi yang multi dimensional kumulatif, yang bila dicermati alur langkahnya akan lebih dekat dan terpampang jelas pada kemultian dari variasi dimensi yang dimilikinya. Ia berangkat dari suatu titik nada “suara nurani” yang samar-samar, yang kian lam kian dilupakan banyak orang.
            Ibarat sungai kecil, ia mencoba mengalirkan arus secara berlawanan, tidak searah dengan gelombang sungai besar, sebuah kerangka sikap keberanian yang “Masya Allah” tentunya.
            “Tuhan yang ma’rifat-Mu tak terkira.
            Antarkan kami berangkat menjadi manusia.
            Bukan seniman, politisi, hakim atau penguasa.
            Tuhan yang tak tertampung di kata.
            Antarkan kami berangkat menjadi manusia.
            Bukan raja, budak, atau penguasa”
            Demikian pintanya, intinya hanya satu : ‘mendobrak ketidakberesan’
            Dengan ekspresi ungkap yang lebih lugas barang kali dapat dikatakan Emha adalah cendikiawan, budayawan, seniman dan lain-lain dimana pada hakekatnya merupakan protes terhadap jerat lingkaran-lingkaran itu, barangkali keangkuhan intelektual, kedua, kepalsuan identitas, dan ketiga, keterasingan eksistensi seniman dari ikatan dan kepedulian sosial.
            Dan keunikan Emha, sebagai tokoh muslim, itulah yang membangkitkan semangat keingintahuan berbagai pihak akan kepribadian Emha, kemana arah kemauannya, apa sasaran sikap kontroversialnya: serta bagaimana translasi riil dari kevokalan bicaranya.
            Bagi sebagian pihak, barangkali, Emha hanyalah lambang “kekonyolan” suatu abad yang masih akan menguakan “kekonyolan" suatu abad, yang masih akan menguakkan misteri lebih jauh dalam tumpukan lembaran sejarah para pendahulunya-katakanlah seperti Abunawas-yang konsekwensinya konkritnya di balik tebakan-tebakan verbalnya itu ialah “kenihilan”. Tapi tidak! Di balik semua itu ada sebuah corak pemikiran realistis pragmatis yang juga banyak menyelimuti mayoritas ummat. Bukanlah corak pemikiran yang sedemikian itu justru “wajib” untuk digapai dalam menjalani hidup ini? Tentu saja harus yang bernilai kualitatif. Tapi, adakah kemutlakan? Adakah kesempurnaan, keutuhan, ketotalan, ketidakcacatan? Adakah.....?!
            Yang jelas seperti dalam do’anya di atas, Emha meminta kepada Sang Tuhan untuk diantar menjadi manusia yang konteksnya adalah fungsionil kualitatif, bukan sekedar material kuantitatif.
            Sepintas Emha menempuh jenjang pendidikan formal akademiknya dengan langkah sempoyongan, bahkan juga agak kacau. Di Gontor tidak sampai tamat KMI, di UGM sempat berkutat hanya beberapa bulan saja. Dan selebihnya, ia menegakkan tekad untuk memasuki Universitas Alam. Gurunya siapa saja, kampusnya di mana saja, kurikulum atau mata kuliahnya, apa saja. Pendeknya, situasi ‘darurat’ yang melingkari kehidupannya telah mengantarkan Emha menjadi ia yang sekaran ini. Dari sudut pandang psikologis, Emba berarti telah melakukan konpensasi (tindakan) positif dari kegagalan-kegagalan yang pernah menghadang. Di Gontor ia bukan sekedar tidak tamat, bahkan sempat diusir minggat dari pondok. “Justru karena saya diusirlah, saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Sejak detik ini saya merasa berkewajiban untuk kejam terhadap diri saya”.
            Selam di Gontor, Emha telah mendapatkan setruman pendidikan “war’i”. Baju hanya satu, tidak pernah punya kasur apalagi pillow.
            Dalam soal kepemimpinan dan pergaulan, memang sejak di Gontor telah terlihat pada dirinya bakat-bakat tersebut. Mas Kurdi (salah seorang staf redaksi Harian Surya yang menjadi sohibul m sewaktu di Gontor), berkomentar: “Mas Emha memang sejak dulu memiliki kepribadian menarik dan ‘ngangeni’ baik itu di kamar, di kelas dan di kelompok olahraga khususnya sepakbola”.
            Apa yang dipaparkan dalam buku kecil ini sebenarnya merupakan penggalan kecil saja dari sekian dimensi kepribadian Emha. Dan lagi, fukusnya diusahakan tidak keluar dari lingkaran konsepsi pencarian ilmu sebagai aktivitas perjuangan sepanjang kehidupan.
(Redaksi Darussalam Pos)

Intropeksi antra  kehendak Ilahidan Nafsu
            Salah satu kelemahan orang Islam adalah tidak bisa menaklukkan kehendak pribadi yang nyaris mendekati nafsu. Saya menjadi sastrawan, saya menjadi saya seperti yang anda kenal adalah bukan kehendak saya. Saya tidak mau menghabiskan waktu hanya untuk mengikuti kehendak pribadi. Kalau menurut kehendak saya, waktu tidak akan pernah cukup.

            Kalau kemauan saya cari hiburan, menjadi sarjana, presiden atau yang enak-enak lainnya.
            Seluruh kehendak saya datang dari luar kehendak pribadi (Allah). Saya harus menciptakan suatu metabolitas supaya yang datang menyentuh saya hanya kehendak-kehendak yang baik, kalau kehendaki yang buruk semoga tidak menimpa saya, entah orang yang punya maksud tidak baik, pemerintah, ilmuwa atau pihak yang berwajib lainnya. Saya berdo’a kepada Allah semoga kehendak buruk tersebut menjauhi saya.
            Jadi hidup ini saya penuhi untuk, pertama, menggali kepekaan terhadap “maadza arooda Allahu ilaiyya” (apa yang Allah kehendaki terhadap diri saya). Dengan ini Allah memberi potensi dan wasilah yang beraneka ragam. Dibalik itu semua, Allah pasti memberi amanat, “maadza arooda Allahu ilaikum...?” itulah pekerjaan saya yang nomor satu. Dalam surat Yasin (36) Ayat 82 Allah berfirman:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
Artinya:
“Sesungguhnya keadaan-Nya (Allah) apabila Dia menghendaki sesuatu, lalu Dia berkata ‘Jadi’ maka jadilah ia”.
Nomor pertama, “Amru” atau amanat (Innama Amruuhu), ketiga Qoulullah (Yaqulullahu), dan keempat adalah efeknya: Jadi! (Kun!), dan sebagai konsekwensi atau akibatnya adalah jadilah (Fa yakun) sedng Irodah atau kehendak Allah itu unsur kedua.
            Maka saya tidak berani berkehendak kalau tidak yakin bahwa kehendak itu berangkat dari Innama Amruhu, sebab sehebat-hebatnya kehendak saya, misalnya: ingin jadi presiden, orang terkenal dn lain sebagainya, kalau tidak berkat dari “Amruhu” tadi, maka hasilnya tidak maksimal. Ya ... mungkin anda bisa mencapai apa yang anda kehendaki, tetapi hanya sebatas apa yang kehendaki saja, karena anda lebih percaya pada kehendak anda. Kalau amanat Allah, lho... kok anda tidak percaya pada amanat Allah...?!. siapa yang nomor satu dalam hidup anda. Kalau tidak menomorsatukan Allah berarti anda tidak percaya “Qul Huwahhalu Ahad”, anda tidak beriman kan...?!. jadi tugas muslim yang pertama adalah mengetahui apa yang Allah kehendaki terhadap diri mereka. Kalau itu yang anda jalankan, dan ketemu, maka anda akan mendapatkan kehendak Allah tersebut berlipat ganda, buktinya sekarang saya sampai kekurangan waktu untuk menulis ayat-ayat allah di koran-koran, di majalah-majalah, dan di buku-buku dan lain-lainnya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqoroh (1) ayat 261:
فى كل سنبلة مائة حبة
Artinya:
“dan setiap ranting terdapat seratus buah”
            Kalau saya bercita-cita jadi sastrawan, paling jadi sastrawan, gampang sekalikan....! aku tak perlu mengurusi sekolah, ummat Islam, rapat akbar NU, kesenian, Abdurrahman Wahid, dan kalau saya bercita-cita ingin menjadi Ulul Albab, paling jadi begitu saja. Saya nggak tahu puisi, nggak bisa ketemu anda (Tim Ekspedisi 8 Windu Darussalam Pos), nggak ketemu TERISDA (Teater Islam Darussalam). Saya tidak pernah mengandalkan kehendak saya, maka nggak heran kalau sekarang kerepotan dikarenakan banyaknya amanat allah yang tidak dijalankan 99% umat manusia, karena mereka hanya menjalankan hawa nafsu mereka masing-masing. Jangan disangka bahwa bercita-cita jadi ini, jadi itu bukan hawa nafsu....!
            Biasanya, orang modern menyuruh anaknya jadi kyai, dokter atau yang lainnya. Itu nafsu. Ibarat orang masuk hutan, ia hanya mengambil kayu jati saja. Kalau ketemu besi, maka besi itu dibiarkan saja. Tapi lain halnya dengan saya. Saya masuk hutan dikarenakan amanat Allah (Amruhu), saya disuruh mencari hikmah apa saja yang ada di dalamnya, apapun saya temui di hutan tersebut adalah hikamhnya. Kalau ketemu rumput saya syukuri, saya nikmati dan saya pelajari. Akhirnya saya bisa ketemu semuanya. Kalau anda masuk hutan hanya untuk mencari kayu jati, lalu tersentuh besi anda tidak menoleh. Sama saja kalau anda mencari uang, lain halnya kalau anda mencari amal, anda akan mendapat uang, kehormatan, karomah, dapat pergaulan dan lainnya. Seperti orang Cina yang mencari uang, di samping itu mereka juga mendapatkan kebencian dari orang lain dan memperoleh dosa.
            Bukan berarti saya menyuruh anda menarik cita-cita masing-masing, tapi jangan lupa bahwa Allah itu mempunyai kehendak yang sangat baik terhadap diri anda. Kalau anda sekolahdi tempat saya, maka soal pertama saya lontarkan adalah: “Maadza arooda Allahu Ilaika...?” (Apa yang Allah kehendaki terhadap diri anda...?) kalau anda menjawab “Liya’bud” (untuk meyembah) itu yang abstraknya, tetapi apa yang sebenarnya yang dimaksudkan menyembah disini, apakah petani, sastrawan, penulis puisi...? mencari kehendak Allah itulah yang merupakan perjalanan yang panjang, sunyi, penuh liku-liku yaitu berjalan dalam diri sendiri.
            Selama ini anda dididik untuk menuju perjalanan melalui luar diri anda, punya ini, punya itu, anda pikir itu semua alat untuk mencapai kebahagiaan anda...? Padahal kebahagiaan itu tidak bisa diwakili dengan itu semua (Harta kekayaan, tahta, wanita, dll). Banyak orang yang mencari Allah melalui jalan luar diri mereka, baca buku tentang konsep ketuhanan, teologi, filsafat, wah... banyak sekali...! Mereka fikir Allah ada dalam buku-buku tersebut. Tidak begitu, tapi yang sebenarnya ada di dalam diri anda sendiri, kalau begitu anda sering diucapkan di muhadloroh pada surat Al-kahfi (18) ayat 109 Allah berfirman:
قل لو كان البحر مداد الكلمات ربى لنفد البحر قبل أن تنفد كلمات ربى ولو جئنا بمثله مددا
Artinya:
Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) perkataan-Ku, niscaya keringlah laut tersebut sebelum habis perkataan Tuhan sekalipun. Kami datangkan tinta sebanyak itu lagi sebagai tambahan".
            Selama ini di Gontor anda menyangka ilmu itu nun jauh disana. Tidak begitu, yang benar adalah: ‘Lau Kaana al-Bahru Midaadan Likalimaati Robbii walau Ji’na Bimitslihi Madadaa”.
            Karena kalau anda sudah sampai disitu, tahu “Madzaa Arooda Allahu Ilaikum”(apa kehendak Allah terhadap anda). Maka terbukalah semua dasar ilmu Allah, walaupun anda tidak bisa melihat seluruhnya, anda bisa melihat seluruhnya, anda bisa melihat “kalimata Rabbi”, sehingga nggak cukup waktu, koran, majalah, untuk menulisnya (Kalimaatu Rabbi), karena kalimatu “Rabbi” itu luar biasa banyaknya, oleh karena itu Al-Ghazali mengatakan bahwa harta dengan ilmu bertentangan, kalau ilmu ada yang dijaga, sedangkan harta anda yang menjaganya, maka saya bilang fasal nomor satu ialah “Anta’rifuu Maadza Arooda Allahu Ilaikum” (apa kehendak Allah terhadap anda), itu artinya menuntuk ilmu.
            Selama ini banyak yang menyangka ilmu itu hanya ada di bangku sekolah dan perguruan tinggi saja. Itu semua betul. Tapi bukan jalan satu-satunya, saya sendiri bisa membuktikannya (tidak melalui bangku sekolah). Silahkan anda membuat ring antara saya dengan kaum ilmuwan. Bukan saya mau berbesar diri, tapi saya mau membuktikan bahwa apa yang saya katakan itu benar.
Melihat Dunia dari Secangkir Teh
            Kita bisa belajar kapan dan di mana saja, nggak usah jauh-jauh, teh misalnya, anda minum teh, tapi gagasan anda tentang teh tidak ada perkembangan. Ya ... Sama saja. Sampai kapanpun anda berpendapat bahwa teh itu kecoklat-coklatan, dimasukan gula dimasukan airnya. Tidak ...! Tidak hanya itu saja, harus ada perkembangan. Kalau anda mau berfikir, melalui teh anda bisa melihat dunia.
            Sewaktu melihat teh, anda teringat petanian teh, berapa manusia yang nasibnya sama dengan petani teh, sistem pemerintah dalam menangani teh, monopoli pemerintah tentang teh, anda teringat Tomi lalu penjualnya Mas Yanto dia termasuk tingkat yang mana dalam ekonomi masyarakat kita, berapa jumlahnya orang yang sama nasibnya dengan Mas Yanto, dan seterusnya. Itu saja sudah cukup. Jangan berkhayal ingin menemui Ali Yafie, Nur Cholis Majid, Amien Rais dan Jamaluddin Rahmat. Boleh menemui mereka hanya sebagai jendela, sedangkan kuncinya ada pada diri anda.
Bagaimana Membuka Gudang Ilmu?
Kalau anda ingin membuk gudang ilmu dengan mudah, maka anda, pertama, harus melatih kepekaan, kecerdasan, imajinasi, analisa, semuanya harus dilatih terus. Kalau sudah dilatih, anda nanti nggak sukar memikirkan masalah, karena sudah terlatih sendiri. Seperti usus anda, nggak diperintahkan sudah berjalan sendiri dan membagi makanan ke dalam perut, enakkan...?
            Kedua, yang namanya gudang ilmu itu luas, banyaknya ilmu anda tergantung pada aktifitas anda dalam mengelola kepekaan, kecerdasan, imajinasi dan analisa. Kalau anda cangkir, maka ilmu yang anda dapatkan sebesar cangkir. Jika anda drum, maka ilmu anda yang anda dapatkan sebesar drum. Sekarang terserah anda, mau jadi cangkir mau jadi drum, atau menjadi sungai.
            Ketiga, anda harus menjadi kunci untuk membuka gudag ilmu. Untuk mencari kehendak Allah anda harus berlatih terus. Anda tidak bisa menendang bola yang tingginya satu meter dan bisa memasuki gawang, kecuali anda harus latihan terus walaupun kadang-kadang salah. Anda jangan berfikir setelah saya kasih resep anda langsung bisa. Tidak!
            Sekarang anda boleh ambil seratus sosiolog dan suruh pergi bersama saya menuju sebuah kampung, mereka telah memiliki ilmu banyak dari kampus, dari sekolah serta telah mengetahui banyak cara menendang bola. Yang menjadi persoalan bagi mereka, para ilmuwan sekarang, apakah cukup hanya tahu bagaimana menendang bola saja...? silahkan mereka pakai Mergin atau yang lainnya dan saya pakai intuisi saya “innama amruhu” dan “an-yaqulalahu” atau pakai “qoulullah”.
            Begitu juga dengan anda yang sudah cukup tahu bagaimana menendang bola dengan baik, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah “what next?” cukuplah dengan hanya mengetahui.
Mencari Irodatullah
Saya mencari “iradatullah” sejak kecil, jauh sebelum masuk Gontor. Saya masuk Gontor atas inisiatif saya sendiri. Sebenarnya setelah kelas lima saya mau masuk Gontor langsung, tapi tidak bisa – karena belum tamat SD Gontor dahulu. Sewaktu di Gontor saya hanya memakai satu baju pramuka saja, padahal baju saya di koper banyak. Semua itu saya lakuka agar saya tidak ditutupi kehendak-kehendak di luar “iradatullah”. Kalau saya berpakaian banyak, saya ditutupi kehendak selain kehendak Allah, sehingga saya tidak disibukkan oleh pakaian. Jadi dengan itu, apa yang ditutupi pakaian akan terbuka, sebenarnya itulah hakekat puasa.
            Puasa itu menghapus daki-daki dari kulit, sehingga pori-pori dapat menghirup udara dengan segar. Kalau sudah dibuka pori-porinya, berarti telah menomorduakan dunia. Tak punya rumah, tak punya mobil mewah tak apa-apa. Yang kesemuanya itu boleh dimiliki, yang penting tidak menjadi daki kehidupan anda. Kalau sudah begitu, sewaktu-waktu hilang tak jadi masalah. Karena, kalau sudah terikat dengan barang-barang tersebut. Berarti kulitnya sudah ditutupi oleh daki, sehingga pori-pori tidak bisa menerima udara murni, artinya rohani tidak bisa menerima ilmu. Itu saja kalau anda ingin maksimal, maka anda harus mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Allah. Anda boleh menjadi sastrawan, petani, dan lain-lainnya. Tapi yang menjadi persoalan Adalah sastrawan yang bagaimana, petani yang bagaimana dan kalau jadi pedagang, pedagang yang bagaimana...? Sesuai apa tidak dengan ajaran Islam....?
            Sebenarnya kita (ummat islam) sudah dikasih “Ihdinash-shiratha-l-mustaqim” (jalan yang lurus), kalau tidak dikerjakan berarti gilakan...! Sudah dikasih sejak dulu (Akmaltu lakum dinukum). Sejak zaman Rasulullah, tapi anda tidak mengerjakannya, lho kok minta lagi, gila dong kalu begitu. Dikasih teh, tidak diminum, kok minta lagi...? Berapa juta ummat islam yang gila karena tidak menjalankan “Ihdinash-shiratha-l-mustaqim” (hidayat Allah).
            Kalau anda sudah mengerjakan menurut kehendak Allah (sesuai dengan ajaran Allah). Maka anda harus mencari hikmahnya sampai mati, kan percaya Allah sampai mati...? “Idza Ashobathum mushibatun”, ashobah disini artinya ditimpa atau dikenai, kan boleh jadi kena rahmat, uang atau yang lainnya.
            Menurut sayaa tidak ada konsep ‘musibah’ yang artinya ‘kecelakaan’ karena di depan irodah Allah ada amanat-Nya, karena semuanya, hikmah, karomah, mawaddah. Yang penting rumusannya adalah “La’allakum tatafakkaruun” (apakah anda mau berfikir..?). Apakah setiap yang tabrakan mobil itu kecelakaan...? Tergantung orangnya. Uang itu kan belu tentu rizki...!
Al-Qur’an Sebagai Sumber Informasi Sebuh Pengakuan
            Ilmu itu ada pada satu titik. Apabila satu titik itu sudah anda dapati, maka anda menguasai titik-titik lainnya. Gejala politik sama dengan gejala alam, bursa efek, industri, usaha. Karenasemua itu sudah merupakan “Sunatullah”.
            Inilah yang menjadi pegangan saya, informasi Allah. Informasi Allah itu ada tiga macam, yaitu : (1) Alam, kita sebut dengan hakikat, lalu (2) manusia dan kehidupan serta realitas kehidupan, kita sebut syariat, dan yang terakhir (3) Al-Qur’an, yang terdapat dalamnya ma’rifat yang meliputi ketiga informasi ini. Karena itu, bacalah ketiganya. Ketiga informasi ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berkaitan. Dan ada denyut diantaranya. Kalau anda telah menemukan denyut diantara ketiganya, terlihatlah ma’rifat, setelah itu anda baru tahu Al-Qur’an itu begini, o.. begitu dan pantas begini dan sebagainya dan seterusnya. Itu, kalauanda sudah mengetahui dialektika diantara ketiganya. Itu saja.
            Kalau memakai pendekatan ini, bila ditulis secara orisinil tidak akan habis-habis setiap hari. Lalu informasi Allah yang sebanyak-banyaknya itu, bagaimana membacanya? Karena banyak orang membaca buku tetapi tidak membaca informasi Allah. Padahal buku itu adalah “tangan panjang” dan informasi Allah yang belum benar, (contoh) fiqih saja bisa salah, apalagi buku-buku ilmiah. Maka sudah seharusnya anda membaca yang pertama “ummul ulum” yaitu Al-Qur’an. Anda mau cari ilmu apa, ada di Al-Qur’an. Tapi (sebelumnya) harus percaya dulu dengan “laaroiba fihi, hudan lilmuttaqin” Misalnya, anda membaca alif-lam-mim (), adah apa artinya? (tidak terinterpretasikan) o....! jadi Allah hanya ingin menunjukkan bahwa manusia sedikit ilmunya. Begitu, Allah maha tahu. Sedangkan pengetahuan manusia terbatas apa yang telah diberikan Allah saja. percayalah...!
            Al-Qur’an itu “hudan” informasi, sekaligus rahmat. Sedangkan buku diperpustakaan belum tetu begitu. Al-Qur’an adalah “hudan lilmutttaqin” , matematikanya: Al-Qur’an bukanlah petunjuk bagi orang-orang yang tidak bertaqwa. Berarti kalau anda ingin mendapat petunjuk, bertaqwalah! Dan karena itu pula Al-Qur’an harus dibaca beribu kali, sebaba tingkat (rangking) ketaqwaan selalu naik turun.
            Dari manakah denyut atau sentruman informasi Allah?! Nomor satu itu. “yatafakaruuna fil khalqissamawati wal ardhi”. Kedua, informasi teknis dengan membaca buku sebanyak-banyaknya. Tapi, tidak semua yang membaca buku terus pintar, tidak selalu! Jadi ibarat tinju, belum pasti yang banyak memukul banyak mendapat angka, karena tergantung “akurat” ataau tidaknya. Kalau anda membaca temanya pas dengan situasi hidup anda, itu akan memjadi ilmu. Perhatikan, cara membaca penting. Seperti dalam bulu tangkis, harus tahu cara memukul. Kadang-kadang tanpa tenaga. Lalu dengan dropsot-dropsot, masuk dan menang. Jadi harus dicari dropsot-dropsot dalam membaca buku. Saya tidak pernah lengkap membaca buku kecuali novel-novel silat. Dan jang meniru cara membaca saya itu, karena tidak konvensional.
Kiat Hidup & Keberhasilan Emha Mencontoh Gontor
Saya sering dimintai tulisan gila-gilaan. Saya harus menulis di tujuh koran sehari secsara rutin, dan itu harus baru (aktual) terus. Di Gontorlah diterapkan hal semacam ini. Dengan adanya latihan pindah dari bel kebel itu anda dibiasakan memanage.
            Gara-gara di Gontor pulalah saya menjadi enteng menyetel yang “di dalam” buktinya kadang-kadang saya dibajak oleh wartawan dan dibawa kekantornya, lalu disediakan mesin ketik, atau komputer lalu ditunggu satu jam, setelah selesai saya diberi honor, nah yang di “dalam’ ini, dalam keadaan yang begini saya harus menyetel dengan baik. ingatlah, hidup itu kholifah atau manajemen dalam arti yang luas.
            Saya mempunyai kiat hidup dari Gontor selama ini. Ketika saya tiba di saat paling kritis, Gontor terasa begitu bermanfaat dalam hidup saya. Entah, kalau saya tidak di Gontor, saya tidak akan bisa menghadapi persoalan itu (setelah dikeluarkan dari Gontor).
            Entah siapa yang menyuruh saya berbuat dengan hanya berbaju satu, selama dua setengah tahun. Saya tidak pernah ganti baju. Dulu saya tidak berfasilitas seperti kebanyakan santri. Saya cuma satu baju, itu pun baju pramuka, selebihnya kaos sepak bola. Bukan karena orang tua saya tidak mampu dan Gontor masih sederhana! Dan untuk tidur, saya tidak punya tikar dan kasur. Bila malam tiba, saya tidur terakhir sambil mencari kalau-kalau ada kasur yang kosong. Juga bila baju saya yang satu-satunya di cuci, di hari jum’at, saya harus menungguinya hingga kering selama dua jam berikutnya.
Mengembara ke “Dalam”
Etos “khalifah”, etos untuk memanage kehidupan sedemikian rupa. Itu dengan diri sendiri mengembara kedalam, mencari diri. Aku ini siapa? Jadi, apa yang di Gontor tangkaplah sukmanya, bukan informasinya, karena informasi itu gampang. Ada di mana-mana. Misalnya anda mau belajar filsafat atau psikologi, cukup dengan konsentrasi setengah tahun saja dan bisa menyamai sarjana.
            Maka, kalau anda sekolah di pesantren, anda tidak pernah mencari diri, tidak mencari “amrullah”, itu apa? Karena anda dibentuk oleh lingkungan anda, sehingga nanti anda bercita-cita, menjadi insinyur, dokter, ustadz atau apa saja. Dimana itu semua tidak berdasarkan kepada pencarian kedalam, akan tetapi berdasarkan pendapat di masyarakat. Allah telah menyuruh kamu...! Nah, sekarang carilah apa yang disuruh Allah kepadamu. “Masak” enam tahun di pondok tidak bisa. Cobalah, kalau sudah sampai tapal batas, tinggal beristirahat! “Maadzaa Ya’muru Allah?” Allah menyuruh saya apa? Pertanyaan ini sangat penting sekali. Kalau tidak, anda mau berbuat apa? Memangnya siap yang bikin anda kalau bukan Tuhan! Asal tahu, kalau belajar “Tasawuf”, inilah intinya! Kalau belajar “management”, ya itu juga. Belajar apapun memang intinya itu.
            Karena itu janganlan lantas anda bercita-cita seperti saya. Karena anda bukan saya, karena anda punya harga sendiri. Anda adalah anda. Dan anda pun harus mampu mempunyai pertemuan khusus dengan Allah, dan bertanya kepada Allah, apa, siapa saya ini? Cara mencari tahu bakat anda dan perintah Tuhan buat anda, tentu saja demngan melihat potensi. Contoh: kok naluri saya begini, saya cocok pedagang, ustadz dan lain-lainnya. Kalau sudah ketemudan cocok baru etos yang lain. Kembangkan saja etos “mengkhalifahi dan memanage” dari Gontor, seperti yang saya katakan tadi. Dengan tidak adanya waktu mubazir, tetapi terus menerus (efektif) dan memang begitulah seharusnya.
Rekreasi pun Harus Produktif
            Saya punya penyakit dari Gontor, yaitu tak tahan menganggur, sampai sekarang. Bila capek bekerja, saya bekerja yang lain. Setiap kerja yang baru adalah istirahat saya. Jadi menurut saya, konsep istirahat orang modern itu tidak benar, yaitu dengan berekreasi. Karena saya tidak bisa ke Pantai Selatan untuk berekreasi, saya mungkin kesana tapi dalam rangka pekerjaan pribadi dan bukan merupakan rekreasi. Sebab rekresi saya adalah pekerjaan yang lain dari sebelumnya. Kalau capek menulis, saya main bulu tangkis, lalu membaca. Itulah rekreasi saya.
            Jadi rekreasipun produktif! Kalau begini hidup akan enak, tidak pernah diam, sekalipun tidur. Maksud saya begini, tidur itu tidak saya progamkan, karena tidurpun harus sejati, “haqqon”, harus benar-benar. Bila anda secara fisik dan mental benar-benar butuh tidur, sehingga “bluk”! anda tertidur langsung, inilah tidur sejati. Saat ini, orang sekarang tidak seperti itu, wah! sudah jam 11.00,  jam tidur. Lalu tidurlah mereka. Bila itu terjadi, yang tidur sebenarnya bukan dia, tapi program-program hidupnya.
            Kalau saya tidak ada kepastian. Kalau menurut teori umum, bila dihitung hutang tidur saya itu telah beribu-ribu jam. Rutinitas tidur saya dari jam 07.00 hingga jam 08.00 pagi hari. Setelah itu bekerja lagi samapi habis maghrib. Nah, sehabis maghrib ini saya mengantuk lagi biasanya saya tidur satu jam lagi. Setelah itu begadang sampai pagi, sepanjang malam tidak tidur. Bila menulis, saya tidak harus menulis terus, kalau saya capek saya akan melakukan pekerjaan lain. Karena menulis itu tidak boleh non stop. Sebab otak setelah bekerja sekian jam lelah, harus istirahat. Dan yang bekerja setelah itu bukan otak lagi, tetapi fisik dan perasaan. Misalnya dengan mendengarkan musik, saat itu yang bekerja perasaan. Nah, kalau fisik dan perasaan sudah capek! baru kita menggunakan otak lagi dan seterusnya. Kalau sudah begitu, semua pekerjaan menjadi istirahat bagi kita.
Bagaimana Seharusnya
Kalau untuk saya, santri itu bisa mengembangkan konsep pemikiran sendiriadapun pemikiran santri menurut saya, pertama Etos Religitas, Kedua: Etos kemandirian.
            Santri itu mengembangkan kemandirian di banding contoh-contoh sosial yang lain. Santri mungkin untuk mandiri karena ia hidup di pesantren, di mana ia untuk berlaku tidak manja dll. Ini adalah jawaban untuk masyarakat dunia.
            Kalau anda ngomong tentang apa isi televisi, anda ngomong tentang massa isi kota metropolitan, apa isi bioskop, bagaimana etalase industri, bagaimana manusia diaduk di dalam mesin yang besar yang dinamakan industrialisasi. Jawabnnya satu yaitu Religiutas. Manusia harus di kembalikan, diberi peluang atau dibukakan kembali pintu kepada Tuhan. Karena sistem yang berlaku jadi etos santri itu harus dikembangkan. Yang pertama tadi, yaitu etos Religiutas. Jadi santri harus anda pahami sebagai etos.
            Etos itu apa, “Ma hua etos”. Etos itu mengandung watak , mengandung “toriqoh”, kepribadian dsb. Jadi jawaban masa depan ini adalah Religiusititas. Kalau indristualisasi sudah mengurung masyarakat dunia ini dan mereka akan mengalami kekeringan spiritual, mereka semakin jauh dari Tuhan. Karena industri pada hakekatnya bertentangan dengan agama. Industri itu pekerjaannya melampiaskan orang dari butuh menjadi tak butuh, dari enggak beli dibikin beli. Kebutuhannya sebetulnya enggak prinsip, tapi disuruh-suruh butuh dengan iklan segala macam setiap hari.
            Padahal pekerjaan agama adalah mengendalikan nafsu. So, ini adalah dua mahkluk, ini dajjal lawan malaikat.
            Etos yang kedua adalah etos kemandirian. Yang anda omongkan ini adalah tentang etos kerja, populasi, jumlah penduduk keseimbangannya dengan kapasitas bumi., sarana dan prasarana. Maka yang akan menang bersaing dimasa mendatang, sepuluh tahun kedepan ini, paling tidak adalah anak yang sekarang belajar mandiri.
            Jadi ente enggak usah peduli. Abdurrahman Wahid (Gus-Dur-red) atau Bil Clinton itu ngomong apa tentang santri. You just build your self, anda bangun diri anda lalu bilang kepada setiap orang: Santri itu dua hal, relegiusitas dan mandiri. Udah itu saja, ndak usah peduli sama lainnya.
Lalu penilaian anda terhadap dunia pemikiran santri sekarang, bagaimana?
            Engga’ usah bicara tentang dunia pemikiran, sekali lagi ngga’ usah, sebab anda di seret oleh para psikolog kota, berfikir yang ngga’ –ngga’. Kalau anda menemukan santri itu rekegiusitas, Do it! I’mal, I’mal, II’mal. Nanti di tengah nada “Ta’malu Syai’an”, nanti di butuhkan pemikiran. O....kita harus berfikir tentang ini, O...saya harus bikin motor sendiri, kalau begitu saya harus mengembangkan pemikiran tentang ban, tentang busi, listrik dan lain sebagainya.
            Jadi pemikiran itu hanya di perlukan sebagai “Thoriqah” dari amal atau sebagai alat dari amal anda, jangan serius-serius berfikir, engga’ ada angin engga’ ada hujan kok berfikir. Ngapain?!......
            Yang penting. Anda kerjakan apa yang jelas, di tengah pekerjaan anda, anda pasti dituntut untuk berfikir, Nah itu yang dinamakan pemikiran. Jadi jangan engga’ ada hujan engga’ ada angin ribut, tiba-tiba anda menyusun pemikiran. Apa itu...! Nanti anda berani ngomong ini-itu, ngomong tentang Saudi, Pakistan, Komunisme yang jatuh, Post Madernisme, ngapain ...? itu semua nanti akan anda perlukan, kalau memang ada kebutuhannya dalam amaliyah anda, gitu lho, jadi jangan di balik.
            “Ya ayyuhalladzina aamanu ittaqulloh faltanzur maqoddamat lighoddin “Pusatkan diri selama di pondok lihatlah apa-apa yang akan terjadi di depan dan apa yang akan kami lakukan, kalau kamu sudah menemukan, baru kamu paham, Oo..., kalau begitu ini yang seharusnya saya lakukan.
            Misalnya saya akan bekerja sebagai pemikir bekerja sama maka saya akan mempelajari ilmu sosial, O...misalnya saya akan jadi sutradara, maka saya berusaha untuk mempelajari ilmu-ilmu kesutradaraan, O...saya akan mempelajari hal-hal mengenai perdagangan.
            Jadi pemikiran tentang perdagangan itu diperlukan, karena anda mau berdagang begitu seterusnya bukan diam-diam ngga’ ada hujan engga’ ada angin terus anda berfikir tentang perdagangan padahal anda tidak berkeinginan untuk menjadi pedagang., kalau anda bertanya tentang lombok pada Cak Nun, saya tanya dulu, Ente mau tanam lombok, jualan lombok atau mau apa, kalau ente engga’ mau tanam lombok, jualan lombok, ngga’ usah tanya lombok ada saya.
Jadi harus ada relevansinya?
Iya. Itu namanya “Thoriqot” jangan seperti kaum intelektual modern di kota-kota, schooler-schooler barat. Itulah yang namanya ‘Al-maghdud’. He think always do nothing. Ilmunya meningkat, tetapi mentalnya tidak menjadi lebih kuat dan hatinya tidak menjadi lebih lapang.
Tetapi saya pernah membaca bukunya Adi Sasono tentang peran serta kaum intelektual. Misalnya dalam pembangunan, mereka tidak turun praktis tetapi memberikan kebijakan dan penelitian ataupun lainnya
Adi sasono? Adi sasono turun praktis dalam pembangunan? Anak buahnya membantu para investor untuk menggusur-menggusur pasar. I give you this information, kalau tidak percaya sekarang silahkan pergi ke Jombang. Silahkan bertemu dengan anak buahna Adi Sasono, yang bantuin mereka adalah para investor bupati dan lain sebagainya dalam menggusur perdagangan-perdagangan tradisional. Dia memang tidak turun praktis, tapi saya tahu apa yang dia maksud.
            Kalau ente ingin jadi intelektual, ndak apa-apa. Intelektual sebagai pekerjaan, anda ingin jadi seorang pemikir, tapi saya bukan seorang pemikir meski saya berani menghadapi semua para pemikir, but i am not thinker, sebab pemikiran itu hanya dibutuhkan ketika kita mengerjakan sesuatu, berfikir tentang apa tidak di tentukan oleh pekerjaannya apa.
            Makanya saya bukan intelek, bukan cendikiawan. Kecendikiawanan bukan pekerjaan saya, pekerjaan saya harus sosio-hervas. Maka dalam pekerjaan sosio-hervas itu dibutuhkan pemikiran-pemikiran, kreativis.
Emha Ainun Najib. 2002. Melihat Dunia dari Secangkir Teh, Warta Mingguan Darussalam Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar