Pada intinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan publik yang menjadipengguna (bebeficiaries atau consumer dalam konsep ekonemi). Dengan demikian, proses formulasi kebijakan publik melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis kaarena memberi ruang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum mengambil keputusan. Sebuah pemikiran yang diandasi gagasan John Locke mengatakan bahwa pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak sosial di antara individu-individu warga masyarakat.
meskipun ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial, model kebijakan publik memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri karenainteraksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain ada kecenderungan pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas. Kita tidak jarang melihat kebijakan publik yang seakan-akan adil, namun apabila dikaji, hanya menguntungkan sejumlah kecil warga atau kelompok. Misalnya, konsep perdagangan bebas adalah konsep adil, namun keadilan itu akan lenyap apabila diterapkan dalam kondisi adanya kesenjangan antara sebagian kecil masyarakat yang sudah kompeten dan yang jauh dari kompeten. Seperti membuat jalan tol, padahal yang memiliki mobil hanya 10% dari populasi dan 90% sisanya bersepeda motor, bersepeda angin, dan berjalan kaki. Model ini sesuai, namun ada ceteris paribusnya, yaitu apabila sudah tercapai kondisi kesetaraan di antara masyarakat.
untuk memastikan bahwa kebijakan publik merupakan pilihan keputusan dari publik diperlukan pembuatan keputusan yang melibatkan masyarakat secara luas, seperti yang dilakukan masyarakat di pedesaan, atau kota-kota kecil dengan penduduk terbatas, yang memungkinkan untuk melakukan representasi publik secara langsung. Film "The Dante's Peak" yang dibintangi Pierce Brosnan barangkali dapat dijadikan salah satu contoh.
Model seperti ini dikenal juga dengan model "deliberatif" atau model "jejaring" (Anderson, 2011), "kolaboratif" (Inez&Booker,2003), "argumentatif" (Fiscer & Forester, 1993), ataupun "discursive" (Fishcer, 2003). Model deliberatif atau "musyawarah" pada perumusan kebijakan dapat dilihat pada bagian analisis kebijakan dengan model deliberative policy analysis di depan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model ini dikembangkan oleh Maarten Hajer dan Henderik Wagenaar (2003) yang mengembangkan konsep dari Frank Fischer dan John Forester, penulis The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning (1993). Frank Fischer (2003) memberi istilah discursive policy making karena melihat proses perumusan kebijakan sebagai sebuah proses interaksi untuk saling membuat konstruksi atas pemahaman dari sebuah realitas, atau juga membuat konstruksi realitas itu sendiri (Fischer. 2003: viii). Proses analisis kebijakan publik model "musyawarah" ini jauh berbeda dengan model-model teknokratik karena peran dari analis kebijakan "hanya" sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas dirinya sendiri. Prosesnya dapat disederhanakan sebagai berikut.
Peran pemerintah di sini lebih sebagai legalisator daripada "kehendak publik". Sementara peran analis kebijkan adalah sebagai prosesor proses dialog publik agar menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan kebijkan publik.
Dr. Riant Nugroho. 2012. PublicPolicy, Jakarta: Elek Media Komputindo
Masukkan komentar Anda...
BalasHapuspendekatan deliberatif merupakan pendekatan baru dalam proses perumusan kebijakan, pertanyaannya dimana lembaga perwakilan rakyat dalam posisi sebagai wakil rakyat, dimana posisi kebijakan deliberatif. Selama ini rakyat hanya berada pada saat perencanaan saja, sedangkan pada saat menetapkan hanya oleh Pemerintah bersama DPRD saja, rakyat tidak ada lagi kesempatan, jika mau berubah rubah dulu Undang-Undang Perencanaan Pembangunan Nasional.
BalasHapus